Tuesday, May 22, 2007

Penghayatan Hidup

Bagaimana kita dapat menjadi manusia yang “ hidup “ ? Jika kita melihat tema-tema seperti ini maka banyak orang lebih mempercayai teori dari “ Chinese Philosophy “ khususnya Ajaran Konfusius. Mengapa demikian ? Etika Konfusius lebih dari sekadar tentang apa yang dilarang ( the don’t ) maupun dianjurkan ( the does ) yaitu sikap dasar bagaimana sebaiknya seorang susilawan ( Kuncu ) menghayati hidup dan kehidupannya. Konfusius mempercayai bahwa untuk memperbaiki dunia dan memperbaiki diri perlu proses seperti sebuah gerak pendulum yang berosilasi seumur hidup tanpa henti dalam rangka belajar menjadi orang yang sempurna. Oleh karena itu tidaklah heran jika Filsafat Konfusius banyak dijadikan dasar bagi masyarakat ( civil society ) karena mengajarkan setiap orang untuk melakukan kewajibannya dalam belajar menjadi manusia yangh bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri, bukan semata-mata untuk diri pribadinya sendiri yang terpisah melainkan sebagai kesatuan dengan memperbaiki lingkungannya. Kalo zaman dulu jika kita melakukan perkara yang tercela maka kita akan ditanya oleh orang “ siapa dosenmu “, “ siapa ortumu “, “ siapa pendetamu “. Tetapi zaman sekarang semuanya sudah “ bodo amat “ alias “ emangnya gua pikirin “. Maka Filsafat Konfusius memiliki jalan untuk menjembatani ini yaitu JALAN TENGAH SEMPURNA.

JALAN TENGAH SEMPURNA memiliki pengertian yang tidak menyeleweng itu adalah TENGAH. Pengertian yang tidak berubah adalah SEMPURNA. Kedua ini merupakan hukum tetap bagi dunia.

Konfusius juga mengatakan bahwa Jalan Suci ada 4 yaitu :
Apa yang kuharapkan dari anakku, belum dapat kulakukan kepada orang tuaku.
Apa yang kuharapkan dari menteriku, belum dapat kulakukan kepada rajaku.
Apa yang kuharapkan dari adikku, belum dapat kulakukan kepada kakakku.
Apa yang kuharapkan dari temanku, belum dapat kulakukan lebih dulu.

Di dalam menjalankan kebajikan sempurna, hati-hati ! Aku tidak berani tidak sekuat tenaga untuk berusaha. Kalau berlebihan, aku tidak berani hambur-hamburkan, dalam perbuatan ada kata-kata dan dalam kata-kata ada perbuatan. Inilah ketulusan seorang KUNCU. Dari sini kita dapat melihat goal dari Filsafat Konfusius mengajak manusia berkarya hingga dunia dapat menjadi tempat yang layak dan nyaman untuk dihuni. Apakah karya manusia dapat menjadikan dunia ini lebih nyaman ?

Dalam Filsafat Konfusius, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengamati dunia bukan hanya sekadar sebagai kenyataan belaka tetapi kenyataan yang memperkenalkan adanya berbagai kemungkinan, yah kemungkinan yang mampu mengoncangkan sesuatu yang awalnya “ stabil “. Oleh karena itu Fuad Hassan, filsuf Indonesia mengatakan manusia jika masuk ke dalam area kemungkinan maka ia sedang merancang keberadaannya sebagai kesejarahan ( historicity ) tetapi tidak semua kemungkinan dibenarkan untuk diwujudkan karena ada dikotomi antara good and bad, virtue and evil. Oleh karena itu manusia perlu “ Integrity “. Konfusius membaca konsep “ Integrity “ hanya dalam batas tingkah laku, tindakan maupun perilaku manusianya. IS THAT ENOUGH ?

Konsep integrity manusia tidak bisa dilepaskan dari elemen atau natur dari manusia itu sendiri. Iman Kristen menegaskan manusia diciptakan menurut IMAGO DEI ( gambar dan rupa Allah ) yang harus dibaca di dalam 3 elemen atau natur yaitu SPIRITUAL, INTELLECTUAL AND MORAL.

1. SPIRITUAL – Allah adalah Creator dan Manusia adalah Created. Allah Bijaksana yang merancang semuanya dengan harmonis dengan segala kebenaran-Nya. Manusia tidak mungkin dapat menemukan Kebenaran-Nya jika bukan Allah yang membukakan jalan tuk menemukan-Nya. Maka Manusia hanyalah penemu kebenaran tetapi bukan pencipta kebenaran – semua harus kembali kepada Allah. Oleh karena itu St. Augustine dan Calvin mempercayai “ All Truth is God’s Truth “. Biblical Theology juga memaparkan hal yang sama yaitu pikiran-Ku bukanlah pikiranmu ( Yesaya 55:8 ). Berarti kita hanyalah memancarkan sumber kebenaran-Nya sahaja.

2. INTELLECTUAL – Seringkali kita menempatkan diri sebagai seorang akademis yang masuk ke dalam laboratorium yang “ menyeramkan “ untuk mengadakan eksperimen-eksperimen untuk mendapatkan formula yang beraplikasi. Maka hasil dari laboratorium tersebut yaitu kumpulan poin-poin akademis nan teoritis hasil analisa dalam pengetahuan kita yang “ limited “ ini.

3. MORAL – Secara umum, moralitas berbicara mengenai kesusilaan yaitu tatanan yang harus menjadi pedoman perilaku manusia dalam pergaulan manusia dengan sesamanya. Pertanyaannya adalah standar mana yang “ qualified “ ? Jika tiada satu standard yang satu-satunya berarti tidak ada standard yang obyektif alias subyektif dan akhirnya liar.

Oleh karena itu, manusia harus kembali kepada originalitas manusia itu sendiri yang terletak pada Tangan Allah sendiri yaitu IMAGO DEI di dalam COMMON GRACE dan SPECIAL GRACE yaitu Penciptaan dan Kelahiran Baru, untuk menemukan kehidupan manusia yang abadi. Amen.

Solideo Gloria
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan, ROC

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...