Thursday, February 07, 2008

Kristus atau Manunggaling Kawula Gusti ?

Sila Pertama Pancasila “ Ketuhanan yang Maha Esa “ dibangun dari sebuah falsafah jawa “ Manunggaling Kawula Gusti “ yang seringkali dipakai dalam “ mystic – religio spiritual “ maupun dalam “ sosio-kultural “. Menurut orang Jawa, Allah tidak dapat diwujudkan ( tan kena kinayangapa ). Jika manusia berusaha mewujudkan Allah pastilah itu bukan gambaran hakekat Tuhan yang sepenuhnya seperti ibarat orang buta meraba gajah. Pengertian Manunggaling Kawula Gusti memberikan prinsip-prinsip yang menanamkan bibit “ pluralismd “ yaitu tidak banyak berdebat, tidak menganggap diri paling benar dan semuanya salah tetapi tidak agnostic. Jadi Allah = Coram Deo ( pinjam istilah Luther ) dan agama-agama hanyalah bayang-bayang gambaran tentang Allah. Lebih jelasnya, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan pengajaran bahwa :

1. Tuhan itu satu dan ada di mana-mana, disembah manusia dalam tata caranya masing-masing.

2. Tuhan ada dalam diri manusia tetapi jangan anggap diri Tuhan.

3. Tuhan itu jauh dekat tetapi tidak bersentuhan.

4. Tuhan itu abadi. Awal dan Akhir adalah Tuhan.

5. Tuhan dapat berwujud tetapi perwujudan bukanlah Tuhan.


Jika secara logika, pemaparan sila pertama ini adalah indah di dalam kesatuan menyembah Allah yang esa, tetapi perbedaan wujud antar agama tidak dapat kita sepelekan untuk menyatakan kesamaan ada di dalamnya karena justru perbedaan demi perbedaan yang absolute tidak dapat kita kompromikan.

Pertama, Allah yang dipahami oleh orang kristen adalah Allah yang hidup, Allah yang berbicara, Allah yang mampu memelihara perkataan-Nya dan Allah yang tidak mungkin membiarkan perkataan-Nya diselewengkan oleh manusia fana. Keempat standar ini menjamin kepercayaan adanya kitab yang murni , yang suci , yang dipelihara oleh Tuhan sampai pada kekekalan yaitu Kitab Suci.

Kedua, Allah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal yaitu Yesus Kristus datang ke dunia fana untuk mati menebus dosa manusia, konsep inkarnasi dan penebusan hanya ada di dalam kekristenan, maka bagaimana mungkin kita dapat menyatakan agama kristen adalah sama kualitasnya dengan agama-agama yang lain ? Yesus satu-satunya Allah dan Manusia yang rela mati untuk menebus dosa manusia … that’s the essence !

Ketiga, Setiap statement-statement yang diucapkan Yesus adalah statement yang “ exclusive “ misalnya “ Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak seorangpun dapat sampai kepada Bapa, jika tidak melalui Aku “. Statement satu-satunya hanya ada di tangan Kristus sebagai juruselamat dunia. Bagaimana mungkin saya dapat mengiyakan dengan gampang “ manunggaling kawula Gusti “ ?


Zaman sekarang, Postmodernisme sehidup semati bersama “ relativisme “ untuk menikmati sebuah pengadopsian dari sebuah filsafat perbandingan. Apa itu filsafat perbandingan ? tentu saja filsafat perbandingan sedang berbicara mengenai sebuah aktivitas untuk mengumpulkan info, berspekulasi dalam keterbatasan, menentukan sebuah standar sementara maupun menganalisa sebuah ujian yang mengarah kepada kebijaksanaan dengan membanding-bandingkan para filsuf-filsuf, gerakan demi gerakan maupun buku demi buku dan harapan menemukan kebijaksanaan lebih kompleks dan menyeluruh. Beberapa patokan yang muncul dalam filsafat perbandingan yaitu : filsafat perbandingan itu sendiri adalah patokan alias tiada patokan. Disini ciri-ciri universal bertahta sebagai patokan melalui pemilihan kita sendiri melihat keunikan maupun kenyentrikan sebuah semangat pluralism yang selalu memerlukan “ revision “ baik secara fungsi maupun integrasi. Apakah goal dari filsafat perbandingan ini mulia ? kita memang diperkaya dengan wawasan peradaban, cultural maupun religious life sehingga vocabulary kita semakin “ up to dated “ tetapi hanya sebatas wilayah supplemen, not essence !


Keunikan Kristus jelas melampaui pesan relativisme karya manusia fana, apakah orang kristen berani tegar berdiri memproklamasikan Kristus sebagai satu-satunya juruselamat dunia ? kenapa harus takut ? takut dicap arogan, sombong, anggap diri paling benar, gila ? Kita harus membangun toleransi kepada agama-agama lain di dalam batas suplemen but tidak mencampuradukkannya di dalam essence alias faith. Kenapa harus kaku seperti ini ? Allah sudah mengirim, mengutus, memberikan dan menganugerahkan juruselamat kepada umat manusia dengan segala konsekuensi yang ada hanya bagi kita, manusia berdosa. Siapa yang telah melakukan action paling beresiko ? kita atau Tuhan ? jelas Tuhan ! kembali pada basics dari Reformed Theology on God ; Allah Bapa menyediakan keselamatan, Allah Anak mengenapi keselamatan dan Allah Roh Kudus melaksanakan keselamatan. Jangan takut ! Allah menyertai kita … Allah yang berjanji adalah Allah yang setia. Tuhan adalah Allah yang mengenapkan apa yang sudah dijanjikan-Nya dari zaman ke zaman. So Nikmatilah Anugerah Tuhan di dalam Kristus, beritakan Injil-Nya dengan sukacita-Nya sampai Maranatha.


Ev. Daniel Santoso

Beijing, People Rebuplic of China

Kebenaran, Perjuangan dan Kesia-siaan

Hidup manusia tidak lepas dari sebuah perjuangan. Rasul Paulus menekankan tema perjuangan di dalam surat-suratnya khususnya di dalam menghadapi bidat-bidat, nabi-nabi palsu yang “ anti-kebenaran “ ( Efesus 4:14-15 ). Oleh karena itu kewaspadaan harus ada di dalam vocabulary orang Kristen karena musuh itu “ real “ di hadapan kita. Maka Ef 6:13 mengatakan, “Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu.” Dengan kata lain, Alkitab menuntut setiap orang Kristen untuk belajar dengan baik dan senantiasa menggumulkan kebenaran. Celakanya, sebagian orang Kristen tidak mau mengambil “ saat teduh “ maupun “ struggling for hope “ karena perspektif mereka membaca aktivitas-aktivitas rohani seperti itu hanyalah “ wasting my time because time is money “. Sebagian orang Kristen juga tidak mau memikirkan “ what is right or wrong “ lagi karena hidup itu sudah susah, tidak perlu manusia membuat hidup lebih susah lagi maka lebih baik jadikan kebenaranmu sebagai milikmu dan kebenaranku sebagai milikku tanpa “ arguing your belief “ sehingga toleransi beragama dapat terjalin mesra dan tiada pertumpahan darah karena semuanya didasari oleh kasih. Jelas, ini tidak benar karena manusia bukan dipanggil untuk melakukan “ generalisasi “ terhadap kasih tetapi kembali kepada kasih mula-mula yaitu Allah Tritunggal. Kedua, manusia bukan dipanggil untuk mendamaikan diri dengan kemunafikan tetapi kita harus berdiri tegak di atas kebenaran karena itulah makna hidup kita yaitu kembali kepada Kebenaran sendiri. Seringkali kita kehilangan nyali untuk melakukan suatu perlawanan terhadap “ dosa “ karena seringkali kita melakukan “ excuse “ terhadap diri kita sendiri sehingga keberanian tumpul dalam menyatakan kebenaran. Kedua, seringkali kita berpendapat bahwa resiko terlalu tinggi untuk menyatakan kebenaran seperti difitnah, dicaci maki, dirajam, diperlakukan tidak adil, disiksa atau mati. Tidak heran, mati demi kebenaran sering diklaim sebagai “ mati konyol “. Justru saya melihat apa yang dikerjakan oleh Allah melalui para rasul, nabi,pengembala, penginjil, pengajar yang cinta kebenaran adalah perjuangan yang “ puitis “.

Soe Hok Gie, seorang pemuda Indonesia keturunan Chinese tahun 1950an yang dianggap pahlawan bangsa oleh para mahasiswa dewasa ini. Betapa tidak, sejak muda dirinya membangun wawasan pengetahuannya dengan membaca buku-buku orang besar seperti Tagore, Gandhi, Tolstoy, Marx, Lenin, Camus, dll untuk membangun semangat perjuangannya untuk melawan kesewenang-wenangan. Sejak muda Gie membaca buku-buku filsafat, anak muda dewasa ini membaca buku-buku ingusan maupun haram seperti “ novel cinta , komik shin can, tabloid gossip, bacaan porno “.Hari ini anak muda sudah kehilangan antusiasme tuk mengadopsi warisan perjuangan Gie tuk kebenaran, apalagi Alkitab sebagai Firman Tuhan, bagaimana mereka mau membela kebenaran kalo mereka tidak mau mencintai kebenaran ? bagaimana anak muda zaman sekarang dapat militant kalo hidup public maupun privatenya hanya dikontrol oleh Playboy, Shin Can, MTV, dll. Mimpi !!! Bertobatlah !!!

Kedua, Gie melihat sejarah manusia lahir dari kesedihan dan pengkhianatan. Betapa tidak, di saat Gie menegakkan kebenaran, mahasiswa malah menegakkan ambisi proposal mereka, militer malah mempermainkan kuasa sehingga sejarah manusia dikuasai oleh orang-orang munafik. Gie tetap konsisten “ membakar jenggot munafikers “ dengan statement benar tapi pedasnya kepada media cetak, media massa sehingga musuhpun bejibun. Tidak heran, Gie begitu merasa “ tersendiri “ - nobody knows the trouble I see, nobody knows my sorrow, I always be gelisah and unable to live in peace. “ Lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan – Soe Hok Gie “.

Ketersendirian seperti ini rupanya tidak hanya ada pada diri Gie tetapi justru Alkitab telah memaparkan ketersendirian Abraham, Daud, Elia, Musa, Yusuf yang menjadi bagian di dalam “ leadership “ mereka dan di dalam ketersendirian ada focus hidup kepada “ Janji Tuhan “, Gie … apakah di dalam kesendirianmu, focus kamu mengarah kepada “ janji Tuhan “ ?

Ketiga, konsep hidup dibaca Gie sebagai “ nothings “ karena hidup manusia penuh dengan penderitaan dan manusia gak dapat bebas ( seperti kata Buddha ). Ia menganggap hidup di usia lanjut hanyalah menambahkan “ suffering “. Lebih berbahagia mati muda karena mereka dapat lolos lebih cepat meninggalkan “ suffering “. Paling berbahagia jika manusia tidak dilahirkan, no suffering. Filsafat “ Life for nothings “ mendasari setiap penilaian Gie terhadap perjuangan hidup manusia. Memang, ada benarnya tapi separuh. Gie hanya melihat hidup dan segala sesuatunya dari observasi maupun studinya. Saat ultah ke 17, Gie melihat orang makan mangga dari tempat sampah dekat istana Negara, Ia melihat rakyat menderita sedangkan Soekarno “ sang paduka “ sedang tertawa bersama istri-istri cantiknya, apa-apaan ini ! generasi muda menjadi hakim atas koruptor-koruptor tua. Aku bersamamu orang malang, orang menderita karena pejuang yang kurang setia. Koruptor tua harus mati di lapangan banteng. Jelas penulisan Gie sangat kontekstual dan “ mengigit “ tetapi apakah pengertian hidupnya hanyalah didasari dari observasi dan studi saja ? Jika manusia membaca kisahnya secara humanis maka banyak orang akan mengatakan bahwa ia adalah seorang pahlawan, tetapi kita harus fair membaca kisahnya dari “ Godly Perspective “ bahwa Gie hanyalah manusia biasa yang membutuhkan pertolongan Tuhan. Di dalam kitab Pengkhotbah, kita akan menemukan tema yang kelihatan mirip dengan Gie yaitu “ vanity “. Menurut saya, tulisan Gie yang cukup “ mengigit “ tidak mungkin dapat dibandingkan pergumulan kitab Pengkhotbah dalam menilai hidup manusia yang “ complicated and vanity “. Meski demikian, Pengkhotbah tidak mendasarkan kitab-Nya dengan “ vanity “ ( seperti Gie ) tetapi “ God has made everything appropriate in its time. He has also set eternity in their heart, yet so that man will not find out the work which God has done from the beginning even to the end “.

Seringkali kita membenci Tuhan karena keterlibatan-Nya dalam semua “ vanities “ dalam hidup manusia padahal segala sesuatunya indah pada waktu-Nya untuk membukakan kepada kita bahwa sebenarnya Allah yang layak membenci, bukan sebaliknya. Dosa kita buat sebanyak-banyaknya tetapi gak mau dihukum, gak mau mempertanggungjawabkan dosanya, itu namanya tidak tahu diri. Allah ada di dalam kesia-siaan hidup manusia untuk memberikan warning bahwa takutlah kepada Allah karena itulah hikmat sejati dan jangan takut menyatakan kebenaran secara aktif membawa dunia tuk kembali kepada kebenaran-Nya. Ajar kami berdiri tegak di atas Kebenaran-Mu

Ev. Daniel Santoso

Beijing, People Rebuplic of China

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...