Sunday, February 14, 2010

Lonely Servants

Ketika saya membaca kembali buku “Catatan Seorang Demonstran” karya Soe Hok Gie, saya tertegun lama saat membaca salah satu pembicaraan pribadi Soe Hok Gie dengan kakak kandungnya, Arief Budiman pada bulan desember 1969. Inilah kutipan keluh kesah Soe Hok Gie yang membuat diriku tertegun beratus-ratus menit …“Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalo keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan ONANI yang KONYOL? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian “.

Gie banyak menerima kecaman dari berbagai pihak sampai dirinya dimaki “ CINA GAK TAHU DIRI”. Mamanya pun mempertanyakan “ Gie, untuk apa semuanya ini? Kamu hanya mencari musuh saja. Tidak dapat uang lagi”. Gie hanya menanggapinya dengan senyum sambil menjawab “Ah, mama enggak ngerti”. Ia memperjuangkan kebenaran tapi ia menjadi seorang pejuang yang tersendiri.

Henry Kissinger pernah mengatakan “Seorang pemimpin tidak patut mendapat nama jika ia tidak bersedia untuk kadang-kadang menjalani ketersendirian”. Memang, kepemimpinan berarti melebihi orang lain dalam mengambil keputusan demi keputusan dan memimpin mereka, tekanan dari kepemimpinan dapat menciptakan kesepian. Warren Wiersbe dalam bukunya Lonely People mengatakan bahwa kesepian akibat pelayanan dapat muncul terutama dalam pelayanan kristen. Pelayanan adalah pengorbanan. Bagi Wiersbe, salah satu tentang pelayanan yang menyebabkan kesepian adalah mereka yang berada dalam posisi kepemimpinan harus melihat lebih jauh dan lebih dalam daripada orang lain. Allah memberi visi kepada para pemimpin tentang apa yang bisa dilakukan, dan kerinduan untuk melihat segala sesuatu terjadi demi kemuliaan Tuhan. Tanpa visi dan kerinduan yang sama, pasti timbul permasalahan. Rasul dan Nabi banyak disalahpahami karena mereka tidak tahu apa visi rasul dan nabi. Tidak heran, mereka selalu menjadi sasaran kritik, termasuk Yesus Kristus. Melalui tulisan ini saya akan membagikan apa yang saya telah pelajari mengenai lonely servants baik dari Nabi Musa mewakili Perjanjian Lama dan Rasul Paulus mewakili Perjanjian Baru.

Di dalam buku Warren Wiersbe, ia mengutip pengalaman Musa yang dicatat dalam kitab Bilangan 11:4-6 “Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang Israel menangislah pula serta berkata: “Siapakah yang akan memberi kita makan daging? Kita teringat akan ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kemudian mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah, dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatupun, kecuali manna ini saja yang kita lihat.” Inilah keadaan bangsa Israel setelah keluar dari perbudakan Mesir. Selama setahun bangsa Israel makan manna yang turun dari surga, sekarang mereka jenuh dengan manna dan menginginkan sesuatu yang pernah mereka kecap di Mesir Mereka menuntut kepada Musa agar mereka diberikan makanan menurut selera mereka. Ketika Allah murka terhadap kaum Israel yang bersunggut-sunggut, Musa berkata “Mengapa Kauperlakukan hamba-Mu ini dengan buruk dan mengapa aku tidak mendapat kasih karunia di mata-Mu, sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggungjawab atas seluruh bangsa ini? Akukah yang mengandung seluruh bangsa ini atau akukah yang melahirkannya, sehingga Engkau berkata kepadaku: pangkulah dia seperti pak pengasuh yang memangku anak yang menyusu, berjalan ke tanah yang Kau janjikan dengan beersumpah kepada nenek moyangnya? Darimanakah aku mengambil daging untuk diberikan kepada seluruh bangsa ini? … Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggungjawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku. Jika engkau berlaku demikian kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja, jika aku mendapat kasih karunia di mata-Mu, supaya aku tidak haruus melihat celakaku”. (Bilangan 11:10-15). Ketika saya membaca bagian ini, aku bertanya kepada diri sendiri, kenapa saya kok terkesan cocok dengan apa yang Musa katakan? Musa seorang pemimpin yang harus mengurusi jutaan anak-anak Israel di padang gurun, anak-anak yang baru belajar berjalan bersama Tuhan dengan iman dan mengikuti pimpinan Tuhan. Saya tertegun dengan pergolakan hati seorang pemimpin ini. Warren Wiersbe menggambarkan pegolakannya dengan sebuah statement “Musa membutuhkan waktu satu malam untuk mengeluarkan bangsa Israel keluar dari Mesir, tetapi Musa membutuhkan waktu empat puluh tahun untuk mengeluarkan Mesir dari bangsa Israel “. Statement Wiersbe menggugah pribadi saya sebagai pemimpin gereja di Taiwan-China, melihat kepemimpinan sangat dekat dengan pengorbanan untuk rela menerima ketersendirian. Inilah pelayanan. Ketika Musa berteriak kepada Allah, apa yang dapat kita pelajari dari Bilangan 11 tersebut?

a. Manusia tetap saja manusia. Terkadang di dalam pelayanan, kita sudah berjuang mati-matian melayani Tuhan tetapi jemaat yang kita layani malah bersunggut-sunggut dan mendambakan hidup kristiani yang lebih “down to earth” menurut selera manusia, toh digunakan buat menjangkau jiwa toh? Dalam Bilangan 11:5 tertulis “Kita teringat akan ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa”. Bukankah mereka budak di Mesir? Mereka telah membayar ikan yang mereka makan itu dengan kebebasan mereka! Mereka tidak melihat fakta bahwa mereka bukan lagi budak di Mesir. Mereka bebas dari perbudakan. Mereka tidak peduli, yang mereka pedulikan hanyalah ikan, bawang prei, bawang merah, bawang putih. Mengerikan! Mereka menganggap “masa lalu yang kelam” itu lebih baik daripada masa sekarang bersama pimpinan Tuhan. Bukankah ini juga yang kita alami dalam era demokrasi di negeri Indonesia? Banyak orang mengatakan, Zaman Presiden Soeharto, Indonesia hidup lebih makmur. Zaman Reformasi hidup lebih tegang. Pilih mana? Tidak sedikit suara rakyat yang mengatakan lebih baik rakyat makmur, soal korupsi itu mah enggak terlalu masalah, bisa diatur! Kalo dapat berkat, ingat Tuhan, kalo dapat beban berat, maki Tuhan! Itulah manusia yang harus didisiplinkan oleh Firman Tuhan.

b. Manusia gampang terpengaruh oleh orang lain. Segerombolan bajingan yang dimaksud dalam Bilangan 11 adalah sekelompok “unbelievers” yang meninggalkan Mesir bersama dengan orang-orang Israel. Terkadang disaat “unbelievers” mengeluh, kita yang telah percaya kepada Tuhan pun tergoda untuk mengiyakan keluhan mereka sehingga kita terpengaruh dan meneriakkan keluhan tersebut dengan nada yang keras. Kalau dipikirkan kembali, Allah telah memberikan berkat kepada setiap kita, sayangnya kita terlalu meremehkan berkat Tuhan dan keluhan kita kepada Tuhan justru menjadi komitmen dan motivasi yang kita perjuangkan kepada-Nya. Justru kita harus peka terhadap apa yang Tuhan kehendaki dan mempengaruhi mereka yang belum percaya untuk belajar taat melihat pimpinan Tuhan.

c. Perspektif mereka hanyalah perspektif manusia. Ketika 12 pengintai Israel dikirim ke tanah Kanaan untuk menyelidiki situasi, mereka melihat orang-orang raksasa dan tembok-tembok yang tinggi, tetapi mereka tidak melihat Tuhan dan berkata “…kami lihat diri kami seperti belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami”. (Bilangan 13:33)”. Mereka lupa kebesaran Allah. Mereka hanyalah melihat segala sesuatu dari perspektif manusia sehingga mereka tidak melihat betapa berkuasanya Allah itu. Bukankah ini juga cermin saudara dan saya. Bukankah kita melihat ladang pelayanan yang begitu membuat diri kita takut sehingga kita menganggap diri tidak mampu mengerjakan pelayanan di ladang tersebut? Justru kita seharusnya melihat seperti apa yang dilihat oleh Abraham Kuyper bahwa tiada seincipun di seluruh dunia ini yang bukan milik Allah. Oleh karena itu, seharusnya kita berani menjalani panggilan sebagai pejuang kebenaran dan pemimpin dengan perspektif Allah.

d. Pemimpin sangat mudah menonjolkan kekuasan mereka sendiri. Ketika Musa berkata “Mengapa kau perlakukan hamba-Mu dengan buruk dan mengapa aku tidak mendapat kasih karunia dimata-Mu, sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggungjawab atas seluruh bangsa ini?”.(Bilangan 11:11). Inilah ekspresi yang jujur dari Musa. Jika kita melihat apa yang dipaparkan oleh nabi dan rasul, mereka berdoa dengan segala kejujuran. Sebagai contoh: Pemazmur dalam kitab Mazmur bukan memuat doa-doa yang tampak saleh dan dibuat-dibuat, justru pemazmur memanjatkan doa yang jujur “Allahku, Allahku, Mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku” (Mazmur 22:2). Mungkin kita bertanya, bukanlah Musa adalah nabi Allah? Bahkan ia dicatat sebagai hamba yang setia dalam segenap rumah Allah (Ibrani 3:2,5). Justru kita harus belajar dari Musa bagaimana ia belajar memandang dengan iman kepada Allah meskipun banyak hal yang ia belum mengerti. Dalam hal ini, “theology of weakness” seharusnya menjadi kesadaran kita di hadapan Tuhan yang akan memberikan kekuatan kepada setiap anak-anak-Nya.

e. Kepemimpinan Musa adalah hak istimewa dari Allah. Mungkin melayani bangsa Israel,, Musa merasa hancur tetapi membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan adalah hak istimewa dari Allah. Ketika kita melayani, terkadang kita merasa capek dan pesimis melihat jemaat yang kurang antusias, tetapi mengajarkan Firman Tuhan merupakan hak istimewa dari Allah. Wiersbe mengatakan gereja anda mungkin tidak bertumbuh sebagaimana seharusnya, tetapi menjadi salah seorang hamba Tuhan merupakan hak istimewa karena tugas memberitakan Injil diberikan kepada kita, bukan malaikat. Ia memakai bejana tanah liat yang lemah seperti Musa, anda dan saya. Saya pernah menerima email dalam konseling, dimana ayahnya berjuang sendirian di satu desa dan jemaatnya bukan semakin banyak, malah musuh semakin banyak. Justru dalam situasi apapun, ayah tersebut telah diberikan oleh Allah hak istimewa untuk memberitakan Injil. Apapun kesusahannya, Ia diberikan panggilan khusus untuk melayani Tuhan secara totalitas di dunia yang membutuhkan Injil. Pada akhir Bilangan 11, Allah mengatakan kepada Musa apa yang seharusnya dilakukan yaitu Musa harus berbagi berkat dan beban pelayanan dengan 70 tua-tua bangsa Israel. Oleh karena itu, menjadi pemimpin harus taat kepada apa yang dikatakan oleh Allah melalui Firman Tuhan, itulah iman (Ibrani 11:6). Iman akkan membawa kita kepada ketaatan, tidak peduli apapun yang kita rasakan, apapun yang kita lihat atau konsekuensi yang ada. Tuhan memegang kendali dan Tuhan menyertai.


Dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus menjadi rasul yang memiliki hidup ketersendirian dalam perjalanan hidupnya melayani Tuhan. Michael Green, seorang Evangelist dari Oxford, England mengatakan bahwa “Paul was a passionate believer in personal ethical monotheism”.Personal – doubtless God is beyond personality, but he is at least personal since he is the Creator of person like ourselves.Ethical – he cares deeply about right and wrong: he is the moral ruler of the world.Monotheism – God is the single ultimate source of everthing in the universe. Luar biasa! Meski demikian, Rasul Paulus tetap memiliki ketersendirian dalam pelayanannya. Kita membaginya di dalam 4 bagian:

1. Paulus adalah Saulus. Siapakah Saulus? Ia adalah teroris rohani yang pernah mengejar orang kristen dan menghancurkan komunitas mereka. Ketersendirian terbesar adalah pada saat Saulus menjadi musuh Allah. (Kisah Para Rasul 9:1-19). Akhirnya disaat ia bertemu dengan Allah di Damsyik, disanalah Saulus menjadi Paulus, Rasul Yesus Kristus yang dipakai Tuhan untuk memberitakan Injil dan membela kebenaran Firman Allah di hadapan orang Yahudi dan orang Yunani.

2. Setelah pertobatan, ia pergi ke Arab untuk merenungkan peristiwa yang terdasyhat yang ia pernah alami yaitu panggilan hidupnya sebagai rasul Yesus Kristus. Setelah itu, Paulus kembali ke Damsyik, Kilikea untuk memberitakan Injil kepada komunitasnya. Ia mengalami “loneliness of rejection from others” Ia ditolak oleh komunitasnya. Ia alami kesendirian memberitakan Injil. (Kisah Para Rasul 9:20-25).

3. Rasul Paulus datang ke Yerusalem. Ketika Paulus datang ke Yerusalem, iapun mengalami ketersendirian karena orang-orang Yerusalem menganggap Paulus adalah bekas Farisi yang mungkin sedang bersandiwara sebagai mata-mata dalam komunitas kristen saat itu. Kedua, posisi rasul Kristus Yesus yang berbeda kondisi dengan posisi rasul-rasul Kristus lainnya. Paulus memperoleh kerasulan dari Yesus Kristus after Ia mati dan bangkit dari kematian. Sedangkan murid-murid Yesus memperoleh kerasulan dari Yesus Kristus sebelum Ia ditangkap, dimatikan dan bangkit dari kematian. Ia menerima penolakan dari Yerusalem. (Kisah Para Rasul 9:26-31).

4. Dalam Kisah Para Rasul 15:36-41. Rasul Paulus berpisah dengan Barnabas. Perpisahan tersebut juga dapat menyebabkan loneliness. Separation tidak mudah untuk dihadapi. Justru dalam pelayananpun, kita masih bersitegang dengan penolakan dan tantangan pelayanan.

5. Paulus pergi ke Athena dan ditertawakan oleh unbelievers (Kisah Para rasul 17:13-34) dan dianggap Dewi Artemis jauh lebih besar daripada Yesus Kristus yang telah memberikan keselamatan kepada anak-anak Tuhan.

6. II Timotius 4:6-22 menyatakan kesepian Paulus ketika melayani bersama rekan-rekan sekerjanya karena ada yang meninggalkan Paulus karena mereka cinta dunia lebih daripada Injil. Paulus mengalami kembali ketersendirian dalam hubungan dia denga rekan kerja.

Sekali lagi, Pelayanan tidak bisa menghindari sebuah ketersendirian yang sebenarnya menjadi bagian proses Tuhan dipermuliakan dalam pelayanan kita masing-masing baik secara mindset maupun secara application life untuk melaksanakan panggilan hidup Tuhan yang sakral untuk menyatakan apa yang Tuhan mau setiap kita kerjakan dengan “full-hearted” kepada Tuhan. Tuhan memberkati kita semuanya.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Stringless Violin

Hidup manusia tidak lepas dari kesalahan, penyalahgunaan maupun kecelakaan. Mungkin, statement tersebut dapat menjadi pesan secara general melihat fakta-fakta kehidupan manusia yang semakin rumit hingga melawan definisi kemanusiaan yang seharusnya tercermin dalam prinsip serta keputusan hidup manusia guna menyelaraskan kebenaran di dalam tingkah ciptaan Tuhan. Sayangnya, ciptaan Tuhan bukannya hidup seperti Sang Pencipta. Ciptaan malah tega berani menghancurkan sesama ciptaannya. Bahkan ciptaan yang telah dihancurkan oleh ciptaan lainnya, melakukan penghancuran lagi kepada ciptaan yang berikutnya. Inilah kondisi yang tercermin dalam film Indonesia berjudul Biola Tak Berdawai (2004) karya Seno Gumira Ajidarma, yang dibintangi oleh Ria Irawan dan Nicholas Saputra.

Di sebuah rumah bergaya arsitektur kolonial yang terletak di Kota Gede, Daerah Selatan Jawa Tengah, Seorang perempuan bernama Renjani mencium seorang anak kecil berusia 8 tahun dengan berkata “Ibu sayang sama Dewa”. Namun anak umur 8 tahun tersebut tidak memberikan reaksi yang biasanya tampak pada anak-anak seumurnya. Rupanya Dewa adalah seorang anak tuna daksa, dilahirkan cacat dari hasil hubungan gelap orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan Dewa termasuk salah satu anak-anak yang dibuang oleh orang tua kandungnya karena kecacatan mental maupun fisikal yang tidak lazim seperti kondisi anak-anak normal di dalam masyarakat. Meskipun demikian, Dewa membuat hidup Renjani penuh dengan makna. Siapakah Renjani? Seorang perempuan cantik berumur 31 tahun yang memiliki history yang menyayat hatinya. Ia seorang penari balerina. Namun, ia tidak lagi menari bahkan trauma karena ia diperkosa oleh instruktur balerinanya sendiri. Renjani menjadi korban pemaksaan dan pemerkosaan. Akhirnya, Renjani hamil dan iapun melakukan aborsi sehingga iapun kena sakit kanker. Teman Renjani, Mbak Wid kelihatannya lebih kuat dan punya dedikasi, namun kodratnya sebagai perempuan-pun pernah mengalami luka dalam di masa lalu dalam dunia prostitusi. Ia melayani di panti asuhan anak-anak cacat sekaligus memainkan kartu tarotnya membaca nasib hari demi hari. Dalam gejolak feminim yang kental mengapung dalam mendominasi cerita, muncul pula figur maskulin “prince of charming” dengan permainan biolanya membawa Dewa, Renjani masuk ke dalam jiwanya, Bhisma namanya. Ya, Bhisma, seorang anak umur 23 tahun yang tidak dapat melupakan Renjani cantik yang berumur 34 tahun maupun Dewa, anak tuna daksa umur 8 tahun yang hidupnya macam tak berguna. Singkat cerita, Bhisma menciptakan komposisi musik “Biola Tak Berdawai” yang didedikasikan kepada Renjani dan Dewa. Akhirnya, dedikasi tersebut mengiris hati penonton disaat ia memainkan komposisi musiknya di kuburan Renjani yang wafat akibat sakit kanker yang tidak pernah diketahui sebelumnya dan suara dewa yang memberikan respon “dewa sayang ibu” dengan terpatah-patah tidak jelas.

Biola Tak berdawai memiliki prinsip yang konservatif, religius dan mengangkat kodrat manusia sebagai pria, wanita dan anak-anak (dalam hal ini anak cacat). Prinsip penting moralitas dalam film tersebut menekankan kepada perspektif aborsi dan perspektif humanitas. Pesan konservatif bahwa aborsi adalah dosa, aborsi harus ditentang meskipun perempuan tersebut hamil akibat seks bebas maupun korban perkosaan karena anak dalam kandungan tersebut punya hak untuk hidup, termasuk anak cacat. Konsekuensi terburuk dari aborsi yaitu kanker sebagai result dari aborsi.

Soal Aborsi, bagaimana orang kristen seharusnya meresponinya? Justru kita harus kembali kepada Firman Tuhan sebagai satu-satunya dasar kebenaran yang kembali kepada standar Allah yang menyatakan bahwa Tuhan mengenal manusia bahkan sebelum manusia tersebut dilahirkan (Yesaya 49:1, Mazmur 139:13-16) dan manusia harus tetap mengambil responsibility yang dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Firman Tuhan berkata dalam Keluaran 21:22-23, Apabila ada situasi laki-laki tertumbuk pada perempuan yang mengandung sehingga perempuan tersebut harus melahirkan secara prematur, jika perempuan tersebut tidak terluka tetapi keguguran, laki-laki tersebut harus membayar denda sesuai putusan hakim, kalo perempuan tersebut terluka serius maka laki-laki tersebut bersalah dan harus kena “penalty of death” karena melawan hukum Taurat yaitu Jangan membunuh. Dalam hal ini, manusia harus memiliki responsibility kepada Tuhan dan kepada manusia. Mother Theresa menentang aborsi, Ia mengatakan bahwa aborsi bukanlah “teaching of love” tetapi “violence to get what human want”.

Soal Dewa, ia adalah ciptaan Allah yang memiliki beautynya sendiri dalam limitasi fisikalnya. Memang Dewa digambarkan seperti biola tak berdawai karena mereka tidak dapat memproduksi suara yang indah. Bahkan prolog menuliskan: Tanpa dawai, bagaimana biola dapat bersuara? Biola bagaikan tubuh, suara itulah jiwanya. Tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia dapat membuatnya berbicara? Jiwa hanya dapat disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelma jiwa, tubuh itu bagaikan biola tak berdawai. Gambaran dewa sebenarnya adalah gambaran saudara dan saya. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, manusia cenderung melawan Allah. Tetapi manusia dapat berdamai dengan Allah karena pekerjaan Kristus yang dinyatakan melalui pengorbanan-Nya diatas kayu salib, menebus dosa saudara dan saya sehingga saya dapat bertobat bukan karena tindakan saya, tetapi karena Kristus. (Galatia 2;20). Itulah tindakan anugerah Allah dalam Kristus Yesus yang memberikan “true meaning” dalam hidup saudara dan saya.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...