Wednesday, February 17, 2010

Silmido

Silmido, inilah pertama kali aku mendengar nama sebuah pulau bersejarah di wilayah Korea Selatan. Sebuah pulau tempat training tentara khusus South Korea divisi 684 di tahun 1968 yang menjadi saksi bisu atas sejarah 30 pasukan khusus divisi 684 yang tanpa sepengetahuan pihak bersangkutan, data pribadi mereka dilenyapkan dari data base South Korea dan mereka dilatih untuk melaksanakan satu misi besar yaitu membunuh Presiden Pyong Yang, Kim Il Sung. Latihan mereka begitu keras, dari berlari keliling pulau, masuk ke dasar laut menahan nafas, menahan besi panas yang membakar punggung mereka, menerima pukulan bertubi-tubi dari para trainer mereka demi mempersiapkan mereka melaksanakan sebuah misi khusus yaitu masuk ke Pyong Yang dan bunuh Kim Il Sung. Ketika mereka diberangkatkan, justru Jenderal Jae-hyun menerima order dari atasan untuk kembali ke Silmido dan menerima order untuk membunuh tentara divisi 684 tersebut. Mereka mempertanyakan identitas mereka yang telah dihapus dari data base South Korea, mereka mempertanyakan kebangsaan mereka yang dianggap komunis oleh bangsanya sendiri. Mereka bunuh diri di dalam bus dengan meledakkan granat. Kisah tersebut difilmkan pada tahun 2003 dengan judul yang sama “Silmido”. Banyak scene-scene kekerasan yang “sadis”, “bengis” dan “imoral”, tetapi pergumulan mereka membayar kesalahan mereka sebagai kriminal yang telah dijatuhkan hukuman mati (sebelum bergabung dalam divisi 684) tidaklah mudah. Sayang sekali, mereka menyelesaikan pergumulan mereka dengan solusi humanis yang tidak mengutamakan kebenaran dan standar Allah sebagai utama.

Dalam konsep kekristenan, semua manusia telah jatuh ke dalam dosa dan setiap manusia telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3), mereka membutuhkan Kristus, satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup (Yohanes 14:6). Inilah pertobatan yang kembali kepada konsep keselamatan sejati yang hanya didasarkan di atas nama Yesus Kristus, sebagai satu-satunya keselamatan yang dinyatakan dari Allah. Meski demikian, tidak sedikit orang kristen merasakan hidup mereka begitu sulit dalam menaati kebenaran Allah. Mereka jatuh ke dalam kejatuhan dan cenderung melakukan dosa-dosa yang tidak berkenan bagi Tuhan. Ketaatan masih menjadi “question mark” yang tidak habis-habis dalam mengaminkan serta menjalankan keteladanan dan pengajaran Yesus Kristus dalam konteks orang yang mengatakan dirinya kristen. Kalau ketaatan kepada Allah masih menjadi pergumulan orang kristen, maka ketaatan mereka selama mengikut Kristus hanyalah sebuah “sandiwara” atau “drama” yang formalitas dan palsu. Berbeda dengan Rasul Paulus dalam Filipi 2 justru menekankan pada “work out your salvation”. Kerjakan keselamatanmu, bukan ketaatanmu! Pada saat keselamatan kita hanya dapat dijamin di dalam pekerjaan Allah Anak yaitu Yesus Kristus, melalui pengorbanan darah-Nya di atas kayu salib dan menebus dosa manusia, barulah kita dapat melihat keindahan konsep kasih dan keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus adalah tindakan nyata Allah “from above” yang memberikan makna hidup yang kekal. Justru urusan iman untuk menaati Allah seharusnya telah menjadi urusan yang telah kita bereskan dalam pertobatan kita di hadapan Allah. Jika kita masing bimbang untuk menaati Allah, maka kita masih belum totally menyerahkan semua total kepada Allah. Justru penyerahan diri secara totalitas kepada Allah memberikan kesukaan dalam hidup di dalam Allah dan sukacita dalam Kristus sajalah yang memampukan setiap kita untuk menjalani panggilan dan pergumulan kita untuk mengerjakan keselamatan kita yaitu hidup selaras dengan Kristus. Hidup memberitakan Kristus sebagai esensi Injil yang “full of meaning” kepada dunia ini. Sekali lagi, tidak mudah membawa Injil Kristus ke dalam dunia ini, tidak “always easy and smooth” tapi bukan berarti keselamatan di dalam Kristus harus dikompromikan dengan “situasional manusia”, “moralitas manusia” maupun “fakta hidup manusia”, tetapi bagaimana setiap situasional manusia, moralitas manusia dan fakta hidup manusia dibawa untuk selaras dengan Injil Kristus sebagai standar Allah yang absolute dan tidak dapat diganggu gugat. Itulah panggilan hidup orang kristen. Cia Yo.


Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijng, China

Sunday, February 14, 2010

Lonely Servants

Ketika saya membaca kembali buku “Catatan Seorang Demonstran” karya Soe Hok Gie, saya tertegun lama saat membaca salah satu pembicaraan pribadi Soe Hok Gie dengan kakak kandungnya, Arief Budiman pada bulan desember 1969. Inilah kutipan keluh kesah Soe Hok Gie yang membuat diriku tertegun beratus-ratus menit …“Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalo keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan ONANI yang KONYOL? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian “.

Gie banyak menerima kecaman dari berbagai pihak sampai dirinya dimaki “ CINA GAK TAHU DIRI”. Mamanya pun mempertanyakan “ Gie, untuk apa semuanya ini? Kamu hanya mencari musuh saja. Tidak dapat uang lagi”. Gie hanya menanggapinya dengan senyum sambil menjawab “Ah, mama enggak ngerti”. Ia memperjuangkan kebenaran tapi ia menjadi seorang pejuang yang tersendiri.

Henry Kissinger pernah mengatakan “Seorang pemimpin tidak patut mendapat nama jika ia tidak bersedia untuk kadang-kadang menjalani ketersendirian”. Memang, kepemimpinan berarti melebihi orang lain dalam mengambil keputusan demi keputusan dan memimpin mereka, tekanan dari kepemimpinan dapat menciptakan kesepian. Warren Wiersbe dalam bukunya Lonely People mengatakan bahwa kesepian akibat pelayanan dapat muncul terutama dalam pelayanan kristen. Pelayanan adalah pengorbanan. Bagi Wiersbe, salah satu tentang pelayanan yang menyebabkan kesepian adalah mereka yang berada dalam posisi kepemimpinan harus melihat lebih jauh dan lebih dalam daripada orang lain. Allah memberi visi kepada para pemimpin tentang apa yang bisa dilakukan, dan kerinduan untuk melihat segala sesuatu terjadi demi kemuliaan Tuhan. Tanpa visi dan kerinduan yang sama, pasti timbul permasalahan. Rasul dan Nabi banyak disalahpahami karena mereka tidak tahu apa visi rasul dan nabi. Tidak heran, mereka selalu menjadi sasaran kritik, termasuk Yesus Kristus. Melalui tulisan ini saya akan membagikan apa yang saya telah pelajari mengenai lonely servants baik dari Nabi Musa mewakili Perjanjian Lama dan Rasul Paulus mewakili Perjanjian Baru.

Di dalam buku Warren Wiersbe, ia mengutip pengalaman Musa yang dicatat dalam kitab Bilangan 11:4-6 “Orang-orang bajingan yang ada di antara mereka kemasukan nafsu rakus; dan orang Israel menangislah pula serta berkata: “Siapakah yang akan memberi kita makan daging? Kita teringat akan ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kemudian mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah, dan bawang putih. Tetapi sekarang kita kurus kering, tidak ada sesuatupun, kecuali manna ini saja yang kita lihat.” Inilah keadaan bangsa Israel setelah keluar dari perbudakan Mesir. Selama setahun bangsa Israel makan manna yang turun dari surga, sekarang mereka jenuh dengan manna dan menginginkan sesuatu yang pernah mereka kecap di Mesir Mereka menuntut kepada Musa agar mereka diberikan makanan menurut selera mereka. Ketika Allah murka terhadap kaum Israel yang bersunggut-sunggut, Musa berkata “Mengapa Kauperlakukan hamba-Mu ini dengan buruk dan mengapa aku tidak mendapat kasih karunia di mata-Mu, sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggungjawab atas seluruh bangsa ini? Akukah yang mengandung seluruh bangsa ini atau akukah yang melahirkannya, sehingga Engkau berkata kepadaku: pangkulah dia seperti pak pengasuh yang memangku anak yang menyusu, berjalan ke tanah yang Kau janjikan dengan beersumpah kepada nenek moyangnya? Darimanakah aku mengambil daging untuk diberikan kepada seluruh bangsa ini? … Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggungjawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku. Jika engkau berlaku demikian kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja, jika aku mendapat kasih karunia di mata-Mu, supaya aku tidak haruus melihat celakaku”. (Bilangan 11:10-15). Ketika saya membaca bagian ini, aku bertanya kepada diri sendiri, kenapa saya kok terkesan cocok dengan apa yang Musa katakan? Musa seorang pemimpin yang harus mengurusi jutaan anak-anak Israel di padang gurun, anak-anak yang baru belajar berjalan bersama Tuhan dengan iman dan mengikuti pimpinan Tuhan. Saya tertegun dengan pergolakan hati seorang pemimpin ini. Warren Wiersbe menggambarkan pegolakannya dengan sebuah statement “Musa membutuhkan waktu satu malam untuk mengeluarkan bangsa Israel keluar dari Mesir, tetapi Musa membutuhkan waktu empat puluh tahun untuk mengeluarkan Mesir dari bangsa Israel “. Statement Wiersbe menggugah pribadi saya sebagai pemimpin gereja di Taiwan-China, melihat kepemimpinan sangat dekat dengan pengorbanan untuk rela menerima ketersendirian. Inilah pelayanan. Ketika Musa berteriak kepada Allah, apa yang dapat kita pelajari dari Bilangan 11 tersebut?

a. Manusia tetap saja manusia. Terkadang di dalam pelayanan, kita sudah berjuang mati-matian melayani Tuhan tetapi jemaat yang kita layani malah bersunggut-sunggut dan mendambakan hidup kristiani yang lebih “down to earth” menurut selera manusia, toh digunakan buat menjangkau jiwa toh? Dalam Bilangan 11:5 tertulis “Kita teringat akan ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa”. Bukankah mereka budak di Mesir? Mereka telah membayar ikan yang mereka makan itu dengan kebebasan mereka! Mereka tidak melihat fakta bahwa mereka bukan lagi budak di Mesir. Mereka bebas dari perbudakan. Mereka tidak peduli, yang mereka pedulikan hanyalah ikan, bawang prei, bawang merah, bawang putih. Mengerikan! Mereka menganggap “masa lalu yang kelam” itu lebih baik daripada masa sekarang bersama pimpinan Tuhan. Bukankah ini juga yang kita alami dalam era demokrasi di negeri Indonesia? Banyak orang mengatakan, Zaman Presiden Soeharto, Indonesia hidup lebih makmur. Zaman Reformasi hidup lebih tegang. Pilih mana? Tidak sedikit suara rakyat yang mengatakan lebih baik rakyat makmur, soal korupsi itu mah enggak terlalu masalah, bisa diatur! Kalo dapat berkat, ingat Tuhan, kalo dapat beban berat, maki Tuhan! Itulah manusia yang harus didisiplinkan oleh Firman Tuhan.

b. Manusia gampang terpengaruh oleh orang lain. Segerombolan bajingan yang dimaksud dalam Bilangan 11 adalah sekelompok “unbelievers” yang meninggalkan Mesir bersama dengan orang-orang Israel. Terkadang disaat “unbelievers” mengeluh, kita yang telah percaya kepada Tuhan pun tergoda untuk mengiyakan keluhan mereka sehingga kita terpengaruh dan meneriakkan keluhan tersebut dengan nada yang keras. Kalau dipikirkan kembali, Allah telah memberikan berkat kepada setiap kita, sayangnya kita terlalu meremehkan berkat Tuhan dan keluhan kita kepada Tuhan justru menjadi komitmen dan motivasi yang kita perjuangkan kepada-Nya. Justru kita harus peka terhadap apa yang Tuhan kehendaki dan mempengaruhi mereka yang belum percaya untuk belajar taat melihat pimpinan Tuhan.

c. Perspektif mereka hanyalah perspektif manusia. Ketika 12 pengintai Israel dikirim ke tanah Kanaan untuk menyelidiki situasi, mereka melihat orang-orang raksasa dan tembok-tembok yang tinggi, tetapi mereka tidak melihat Tuhan dan berkata “…kami lihat diri kami seperti belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami”. (Bilangan 13:33)”. Mereka lupa kebesaran Allah. Mereka hanyalah melihat segala sesuatu dari perspektif manusia sehingga mereka tidak melihat betapa berkuasanya Allah itu. Bukankah ini juga cermin saudara dan saya. Bukankah kita melihat ladang pelayanan yang begitu membuat diri kita takut sehingga kita menganggap diri tidak mampu mengerjakan pelayanan di ladang tersebut? Justru kita seharusnya melihat seperti apa yang dilihat oleh Abraham Kuyper bahwa tiada seincipun di seluruh dunia ini yang bukan milik Allah. Oleh karena itu, seharusnya kita berani menjalani panggilan sebagai pejuang kebenaran dan pemimpin dengan perspektif Allah.

d. Pemimpin sangat mudah menonjolkan kekuasan mereka sendiri. Ketika Musa berkata “Mengapa kau perlakukan hamba-Mu dengan buruk dan mengapa aku tidak mendapat kasih karunia dimata-Mu, sehingga Engkau membebankan kepadaku tanggungjawab atas seluruh bangsa ini?”.(Bilangan 11:11). Inilah ekspresi yang jujur dari Musa. Jika kita melihat apa yang dipaparkan oleh nabi dan rasul, mereka berdoa dengan segala kejujuran. Sebagai contoh: Pemazmur dalam kitab Mazmur bukan memuat doa-doa yang tampak saleh dan dibuat-dibuat, justru pemazmur memanjatkan doa yang jujur “Allahku, Allahku, Mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku” (Mazmur 22:2). Mungkin kita bertanya, bukanlah Musa adalah nabi Allah? Bahkan ia dicatat sebagai hamba yang setia dalam segenap rumah Allah (Ibrani 3:2,5). Justru kita harus belajar dari Musa bagaimana ia belajar memandang dengan iman kepada Allah meskipun banyak hal yang ia belum mengerti. Dalam hal ini, “theology of weakness” seharusnya menjadi kesadaran kita di hadapan Tuhan yang akan memberikan kekuatan kepada setiap anak-anak-Nya.

e. Kepemimpinan Musa adalah hak istimewa dari Allah. Mungkin melayani bangsa Israel,, Musa merasa hancur tetapi membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan adalah hak istimewa dari Allah. Ketika kita melayani, terkadang kita merasa capek dan pesimis melihat jemaat yang kurang antusias, tetapi mengajarkan Firman Tuhan merupakan hak istimewa dari Allah. Wiersbe mengatakan gereja anda mungkin tidak bertumbuh sebagaimana seharusnya, tetapi menjadi salah seorang hamba Tuhan merupakan hak istimewa karena tugas memberitakan Injil diberikan kepada kita, bukan malaikat. Ia memakai bejana tanah liat yang lemah seperti Musa, anda dan saya. Saya pernah menerima email dalam konseling, dimana ayahnya berjuang sendirian di satu desa dan jemaatnya bukan semakin banyak, malah musuh semakin banyak. Justru dalam situasi apapun, ayah tersebut telah diberikan oleh Allah hak istimewa untuk memberitakan Injil. Apapun kesusahannya, Ia diberikan panggilan khusus untuk melayani Tuhan secara totalitas di dunia yang membutuhkan Injil. Pada akhir Bilangan 11, Allah mengatakan kepada Musa apa yang seharusnya dilakukan yaitu Musa harus berbagi berkat dan beban pelayanan dengan 70 tua-tua bangsa Israel. Oleh karena itu, menjadi pemimpin harus taat kepada apa yang dikatakan oleh Allah melalui Firman Tuhan, itulah iman (Ibrani 11:6). Iman akkan membawa kita kepada ketaatan, tidak peduli apapun yang kita rasakan, apapun yang kita lihat atau konsekuensi yang ada. Tuhan memegang kendali dan Tuhan menyertai.


Dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus menjadi rasul yang memiliki hidup ketersendirian dalam perjalanan hidupnya melayani Tuhan. Michael Green, seorang Evangelist dari Oxford, England mengatakan bahwa “Paul was a passionate believer in personal ethical monotheism”.Personal – doubtless God is beyond personality, but he is at least personal since he is the Creator of person like ourselves.Ethical – he cares deeply about right and wrong: he is the moral ruler of the world.Monotheism – God is the single ultimate source of everthing in the universe. Luar biasa! Meski demikian, Rasul Paulus tetap memiliki ketersendirian dalam pelayanannya. Kita membaginya di dalam 4 bagian:

1. Paulus adalah Saulus. Siapakah Saulus? Ia adalah teroris rohani yang pernah mengejar orang kristen dan menghancurkan komunitas mereka. Ketersendirian terbesar adalah pada saat Saulus menjadi musuh Allah. (Kisah Para Rasul 9:1-19). Akhirnya disaat ia bertemu dengan Allah di Damsyik, disanalah Saulus menjadi Paulus, Rasul Yesus Kristus yang dipakai Tuhan untuk memberitakan Injil dan membela kebenaran Firman Allah di hadapan orang Yahudi dan orang Yunani.

2. Setelah pertobatan, ia pergi ke Arab untuk merenungkan peristiwa yang terdasyhat yang ia pernah alami yaitu panggilan hidupnya sebagai rasul Yesus Kristus. Setelah itu, Paulus kembali ke Damsyik, Kilikea untuk memberitakan Injil kepada komunitasnya. Ia mengalami “loneliness of rejection from others” Ia ditolak oleh komunitasnya. Ia alami kesendirian memberitakan Injil. (Kisah Para Rasul 9:20-25).

3. Rasul Paulus datang ke Yerusalem. Ketika Paulus datang ke Yerusalem, iapun mengalami ketersendirian karena orang-orang Yerusalem menganggap Paulus adalah bekas Farisi yang mungkin sedang bersandiwara sebagai mata-mata dalam komunitas kristen saat itu. Kedua, posisi rasul Kristus Yesus yang berbeda kondisi dengan posisi rasul-rasul Kristus lainnya. Paulus memperoleh kerasulan dari Yesus Kristus after Ia mati dan bangkit dari kematian. Sedangkan murid-murid Yesus memperoleh kerasulan dari Yesus Kristus sebelum Ia ditangkap, dimatikan dan bangkit dari kematian. Ia menerima penolakan dari Yerusalem. (Kisah Para Rasul 9:26-31).

4. Dalam Kisah Para Rasul 15:36-41. Rasul Paulus berpisah dengan Barnabas. Perpisahan tersebut juga dapat menyebabkan loneliness. Separation tidak mudah untuk dihadapi. Justru dalam pelayananpun, kita masih bersitegang dengan penolakan dan tantangan pelayanan.

5. Paulus pergi ke Athena dan ditertawakan oleh unbelievers (Kisah Para rasul 17:13-34) dan dianggap Dewi Artemis jauh lebih besar daripada Yesus Kristus yang telah memberikan keselamatan kepada anak-anak Tuhan.

6. II Timotius 4:6-22 menyatakan kesepian Paulus ketika melayani bersama rekan-rekan sekerjanya karena ada yang meninggalkan Paulus karena mereka cinta dunia lebih daripada Injil. Paulus mengalami kembali ketersendirian dalam hubungan dia denga rekan kerja.

Sekali lagi, Pelayanan tidak bisa menghindari sebuah ketersendirian yang sebenarnya menjadi bagian proses Tuhan dipermuliakan dalam pelayanan kita masing-masing baik secara mindset maupun secara application life untuk melaksanakan panggilan hidup Tuhan yang sakral untuk menyatakan apa yang Tuhan mau setiap kita kerjakan dengan “full-hearted” kepada Tuhan. Tuhan memberkati kita semuanya.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Stringless Violin

Hidup manusia tidak lepas dari kesalahan, penyalahgunaan maupun kecelakaan. Mungkin, statement tersebut dapat menjadi pesan secara general melihat fakta-fakta kehidupan manusia yang semakin rumit hingga melawan definisi kemanusiaan yang seharusnya tercermin dalam prinsip serta keputusan hidup manusia guna menyelaraskan kebenaran di dalam tingkah ciptaan Tuhan. Sayangnya, ciptaan Tuhan bukannya hidup seperti Sang Pencipta. Ciptaan malah tega berani menghancurkan sesama ciptaannya. Bahkan ciptaan yang telah dihancurkan oleh ciptaan lainnya, melakukan penghancuran lagi kepada ciptaan yang berikutnya. Inilah kondisi yang tercermin dalam film Indonesia berjudul Biola Tak Berdawai (2004) karya Seno Gumira Ajidarma, yang dibintangi oleh Ria Irawan dan Nicholas Saputra.

Di sebuah rumah bergaya arsitektur kolonial yang terletak di Kota Gede, Daerah Selatan Jawa Tengah, Seorang perempuan bernama Renjani mencium seorang anak kecil berusia 8 tahun dengan berkata “Ibu sayang sama Dewa”. Namun anak umur 8 tahun tersebut tidak memberikan reaksi yang biasanya tampak pada anak-anak seumurnya. Rupanya Dewa adalah seorang anak tuna daksa, dilahirkan cacat dari hasil hubungan gelap orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan Dewa termasuk salah satu anak-anak yang dibuang oleh orang tua kandungnya karena kecacatan mental maupun fisikal yang tidak lazim seperti kondisi anak-anak normal di dalam masyarakat. Meskipun demikian, Dewa membuat hidup Renjani penuh dengan makna. Siapakah Renjani? Seorang perempuan cantik berumur 31 tahun yang memiliki history yang menyayat hatinya. Ia seorang penari balerina. Namun, ia tidak lagi menari bahkan trauma karena ia diperkosa oleh instruktur balerinanya sendiri. Renjani menjadi korban pemaksaan dan pemerkosaan. Akhirnya, Renjani hamil dan iapun melakukan aborsi sehingga iapun kena sakit kanker. Teman Renjani, Mbak Wid kelihatannya lebih kuat dan punya dedikasi, namun kodratnya sebagai perempuan-pun pernah mengalami luka dalam di masa lalu dalam dunia prostitusi. Ia melayani di panti asuhan anak-anak cacat sekaligus memainkan kartu tarotnya membaca nasib hari demi hari. Dalam gejolak feminim yang kental mengapung dalam mendominasi cerita, muncul pula figur maskulin “prince of charming” dengan permainan biolanya membawa Dewa, Renjani masuk ke dalam jiwanya, Bhisma namanya. Ya, Bhisma, seorang anak umur 23 tahun yang tidak dapat melupakan Renjani cantik yang berumur 34 tahun maupun Dewa, anak tuna daksa umur 8 tahun yang hidupnya macam tak berguna. Singkat cerita, Bhisma menciptakan komposisi musik “Biola Tak Berdawai” yang didedikasikan kepada Renjani dan Dewa. Akhirnya, dedikasi tersebut mengiris hati penonton disaat ia memainkan komposisi musiknya di kuburan Renjani yang wafat akibat sakit kanker yang tidak pernah diketahui sebelumnya dan suara dewa yang memberikan respon “dewa sayang ibu” dengan terpatah-patah tidak jelas.

Biola Tak berdawai memiliki prinsip yang konservatif, religius dan mengangkat kodrat manusia sebagai pria, wanita dan anak-anak (dalam hal ini anak cacat). Prinsip penting moralitas dalam film tersebut menekankan kepada perspektif aborsi dan perspektif humanitas. Pesan konservatif bahwa aborsi adalah dosa, aborsi harus ditentang meskipun perempuan tersebut hamil akibat seks bebas maupun korban perkosaan karena anak dalam kandungan tersebut punya hak untuk hidup, termasuk anak cacat. Konsekuensi terburuk dari aborsi yaitu kanker sebagai result dari aborsi.

Soal Aborsi, bagaimana orang kristen seharusnya meresponinya? Justru kita harus kembali kepada Firman Tuhan sebagai satu-satunya dasar kebenaran yang kembali kepada standar Allah yang menyatakan bahwa Tuhan mengenal manusia bahkan sebelum manusia tersebut dilahirkan (Yesaya 49:1, Mazmur 139:13-16) dan manusia harus tetap mengambil responsibility yang dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Firman Tuhan berkata dalam Keluaran 21:22-23, Apabila ada situasi laki-laki tertumbuk pada perempuan yang mengandung sehingga perempuan tersebut harus melahirkan secara prematur, jika perempuan tersebut tidak terluka tetapi keguguran, laki-laki tersebut harus membayar denda sesuai putusan hakim, kalo perempuan tersebut terluka serius maka laki-laki tersebut bersalah dan harus kena “penalty of death” karena melawan hukum Taurat yaitu Jangan membunuh. Dalam hal ini, manusia harus memiliki responsibility kepada Tuhan dan kepada manusia. Mother Theresa menentang aborsi, Ia mengatakan bahwa aborsi bukanlah “teaching of love” tetapi “violence to get what human want”.

Soal Dewa, ia adalah ciptaan Allah yang memiliki beautynya sendiri dalam limitasi fisikalnya. Memang Dewa digambarkan seperti biola tak berdawai karena mereka tidak dapat memproduksi suara yang indah. Bahkan prolog menuliskan: Tanpa dawai, bagaimana biola dapat bersuara? Biola bagaikan tubuh, suara itulah jiwanya. Tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia dapat membuatnya berbicara? Jiwa hanya dapat disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelma jiwa, tubuh itu bagaikan biola tak berdawai. Gambaran dewa sebenarnya adalah gambaran saudara dan saya. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, manusia cenderung melawan Allah. Tetapi manusia dapat berdamai dengan Allah karena pekerjaan Kristus yang dinyatakan melalui pengorbanan-Nya diatas kayu salib, menebus dosa saudara dan saya sehingga saya dapat bertobat bukan karena tindakan saya, tetapi karena Kristus. (Galatia 2;20). Itulah tindakan anugerah Allah dalam Kristus Yesus yang memberikan “true meaning” dalam hidup saudara dan saya.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Saturday, February 13, 2010

The Death of Alexander McQueen

Hari ini, China merayakan Chinese New Year dengan begitu maraknya sehingga semuanya ramai dengan suara petasan, canda tawa keluarga besar yang terekspresi lepas, salam congratulations and prosperity diucapkan memberikan “support” keluarga maupun kolega mereka agar dapat memperoleh “lucky” dalam hidupnya. Rupanya, suasana di China hari ini berbeda dengan suasana dunia mode di belahan Eropa hari ini. Kamis lalu, seorang desainer terkemuka asal Inggris, Alexander McQueen yang dikenal sebagai “berandal mode Inggris” ditemukan tewas akibat gantung diri. Menurut beberapa laporan polisi, Alexander McQueen dicurigai sengaja mengantung dirinya akibat depresi kehilangan ibundanya yang meninggal awal Februari kemarin. Banyak teman-teman Mcqueen menyayangkan akhir reputasi McQueen yang sedang menikmati puncak keberhasilan dan ketenarannya sebagai seorang desainer terkemuka di seluruh dunia. Di dalam perspektif Fashion, McQueen dikenal nyentrik dengan penampilan yang “merombak citra mode Inggris” dari anggun menjadi lebih “sarkastik”. Keberaniannya menciptakan inovasi yang “gila” membuat banyak selebritis mencarinya, beberapa diantaranya Sandra Bullock, Madonna, Naomi Champbell, etc. Prestasi popularitasnya juga mengantarnya ke kancah Kerajaan Inggris, dimana Ratu Elizabeth memberikan gelar kepada McQueen yaitu “Commander of British Empire”. Luar biasa! Setelah kematiaan McQueen, pertanyaan yang banyak ditanyakan oleh para jurnalis adalah siapakah penerus Alexander McQueen design akan pergi? Sejak tahun 2000, brand ini telah dijual kepada Gucci. Akan tetapi, siapakah yang bakal melahapnya? Versace? Ungaro? Atau akan menurun seperti prestasi dari Valentino?

Kehilangan ibunda yang ia sayangi menjadikan dirinya ditekan oleh “pressure” yang memberikan kesempatan kepadanya untuk mengambil sebuah keputusan konyol yang bodoh yaitu membunuh dirinya sendiri (self-caused death). Kekristenan jelas menentang perbuatan-perbuatan seperti ini. Hidup manusia memang tidak bisa lepas dari pressure. Akan tetapi, manusia tidak diberikan hak untuk mengambil sendiri nyawanya, karena manusia tidak memiliki “right to make this decission”. Tindakan membunuh dirinya termasuk telah melakukan hal yang keji di hadapan Allah, karena hidup manusia harus dipertanggungjawabkan kepada Allah karena Ia adalah Sang Pencipta. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa dan tidak ada seorangpun dapat melaksanakan hidup dengan baik, maka adakah pengharapan bagi manusia untuk hidup tenang tanpa melakukan perbuatan konyol seperti McQueen?

Intermezzo, Minggu lalu setelah saya berkhotbah di Mimbar Reformed Injili Indonesia Beijing, saya mengunjungi Haidian Christian Church dan mengikuti English Worship. Saya sungguh terkesan dengan kesaksian seorang mahasiswa chinese yang dulunya atheist dan ia banyak membaca buku untuk berusaha mematahkan konsep keberadaan Allah sampai akhirnya ia mempertanyakan makna hidupnya jika tidak ada Tuhan. Ia langsung menyadari bahwa hidup begitu fragile karena everthing telah terpolusi oleh dosa sehingga apapun tindakan manusia semuanya tidak bakal memberikan jaminan sekuritas yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia mengatakan jika hidup manusia hanya dipahami di dalam konteks “existence” maka manusia tidak dapat melihat pengharapan yang dapat memberikan jaminan sekuritas yang sejati. Hanya pengertian hidup yang “eternity” baru dapat memberikan jaminan sekuritas yang sejati yaitu Allah sendiri. Which Gods, anyway? Hanya satu-satunya Allah yang di dalam eternal plan telah merencanakan anugerah keselamatan Allah kepada manusia melalui Yesus Kristus sebagai satu-satunya juruselamat dunia. Akhirnya ia memahami bahwa pengharapan hidup baru dapat dimengerti ketika dirinya bertobat kepada Allah, di dalam nama-Nya yaitu Yesus Kristus. Pengharapan itu hanya dapat diperoleh pada saat kita kembali kepada pusat kehidupan manusia yaitu kembali kepada Sang Pencipta yaitu Allah sendiri. Allah yang memberikan anugerah kepada manusia untuk dapat kembali melihat makna hidup yang sesungguhnya dan mengecap keindahan hidup sejati bukan di dalam existence saja, tetapi juga di dalam eternity. Kembali bertobat kepada Allah dan berserah total kepada anugerah Allah yang memberikan pengharapan bagi mereka untuk kembali mencicipi hidup yang memuliakan nama Tuhan. Bunuh diri adalah mendekatkan diri pada api neraka. Bertobat di hadapan Allah, membunuh dosa- mendekatkan diri pada Tiang awan dan Tiap api-Nya, berani menjalani hidup di dalam penyertaan-Nya. Haleluyah.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Memory from Shibuya

Chinese New Year tahun ini dingin sekali.Angin bertiup begitu kencangnya bersama dengan ayunan daun pada pohon-pohon yang ditemani dengan kumpulan es yang tertimbun di bawah kaki pohon. Setelah persekutuan doa selesai, hari ini kami menikmati makan siang pesanan kami sambil menonton sebuah film sad story- Hachi: A Dog’s Tale (2009). Sebuah film sentimentil antara seorang professor musik, Parker Wilson (Richard Gere) dan seekor anjing jepang “akita” yang membawa hanyut setiap penonton film tersebut ke dalam arus tema filsafat dan spiritualitas oriental yang kental. Betapa tidak, kekentalan konsep family dan loyalty yang diutamakan oleh Japanese culture-pun dapat kita lihat dengan jelas dalam film tersebut. Bahkan, Richard Gere menjiwai betul peran penyayang anjing hingga seakan-akan hati mereka telah menjadi satu dan menjadi milik berdua (Majikan dan Anjing kesayangan) sampai maut menjemput salah satunya-pun, loyalty masih tetap dipertahankan. Sungguh amat mengagumkan! Is it a joke? Rupanya, kisah diatas adalah kisah “true story” di Jepang tahun 1924. Kisah Professor Hidesamuro Ueno dari University of Tokyo dengan anjing “akita” bernama Hachiko sungguh berbekas dalam sejarah nasional negara Jepang. Dimana Ueno pergi maupun pulang bekerja dari stasiun Shibuya, disitulah Hachiko mengantar dan menjemput tuannya dengan setia. Sampai suatu hari, Ueno jatuh kena stroke ketika ia sedang mengajar di University of Tokyo. Ueno meninggal dan tidak pernah kembali ke stasiun Shibuya. Meskipun demikian, Hachiko tetap bersikeras menunggu majikannya setiap jam 4 sore hingga stasiun tutup selama 10 tahun. Singkat cerita, Hachiko mati dalam keadaan kedinginan menunggu majikan yang ditunggunya bertahun-tahun. Kematian Hachiko menjadi berita nasional di Jepang dan akhirnya patung bronze Hachiko diletakkan di stasiun Shibuya sebagai reminder of devotion and loves. Tubuh anjing tersebut diawetkan untuk disimpan dan dipamerkan di National Science Museum of Japan. Sampai hari ini, banyak para orang tua dan para guru memakai kisah Ueno dan Hachiko ini sebagai simbol nasional guna mengajarkan kepada anak-anak mengenai apa arti sebuah love, compassion dan loyalty. Kedua, selain mereka memfokuskan ajaran tersebut mengenai bagaimana generasi muda belajar mengenai konsep loyalty di dalam keluarga maupun negara, mereka juga belajar memahami binatanag bukan hanya sebuah simple creatures tetapi binatang mampu memberikan lesson of love kepada manusia dan membuat mereka mengerti apa arti sebuah love, compassion and loyalty.

Meskipun film diatas sangat baik untuk memberikan edukasi kepada generasi muda untuk mengerti konsep love, compassion and loyalty, sayang semuanya itu hanyalah sebuah lesson humanistik untuk bagaimana membereskan etika manusia dan belajar bagaimana manusia memberikan apresiasi terhadap binatang, tetapi bukan kepada Sang Pencipta. Seharusnya kita semakin menyadari bahwa theological aspek adalah prioritas utama yang harus kita introspeksi, bukan psikologikal aspek maupun humanistic mindset. Tuhan adalah Kasih dan Dasar Kasih hanya dapat diberikan dari Allah, melalui Yesus Kristus (Yohanes 3:16). Sebagai orang kristen, kita percaya bahwa konsep love yang sehati tidak dapat lepas dari doktrin Kristus (Yohanes 13:35, I Yohanes 3:14, I Yohanes 5:2-3). Konsep compassion orang kristen juga didasari dari konsep God centered bahwa Allah adalah full of compassion for people (Mazmur 86:15) dan Yesus memiliki compassion tersebut bagi orang yang terhilang (Matius 9:36), orang sakit (Matius 14:14) dan orang yang kelaparan (Matius 15:32). Bagaimana dengan saudara dan saya? Sudahkah engkau mengenali konsep love dan compassion dari Allah? (1 Petrus 3:8-12). Loyalty juga tidak dapat dilepaskan dari konsep God centered karena setiap kita telah diberikan spirit of loyalty dari Allah untuk konsentrik kepada-Nya yaitu setia kepada Kristus. Inilah fondasi dalam karakter kristen (1 Petrus 2:9-12). Kita adalah “chosen people” diberikan “royal priesthood”, dipanggil sebagai “holy nation” yang menyatakan kemuliaan Allah. Bukankah ini yang Yesus Kristus kerjakan di dalam dunia? Segala sesuatu yang Yesus Kristus lakukan sesuai dengan makna kasih yang Allah maksud untuk setiap kita belajar menikmati kasih-Nya dan membagikan kasih-Nya kepada others. Memang, semua ini perlu sebuah proses yang tidak langsung “click” tetapi biarlah kita dapat menikmati perjalanan kita menyelami kasih-Nya, belas kasih-Nya dan kesetiaan-Nya dengan “knowing Him” (II Korintus 10:5, 3:1-7) dan “set your heart and mind” (Markus 8:38, Filipi 4:6-9) dengan berserah total kepada Tuhan (Mazmur 37, Roma 8:6-8). Dalam hal ini, prinsip keallahan harus menjadi starting point dalam mengerti kebesaran konsep love, compassion dan loyalty sejati. Oleh karena itu, kita perlu belajar “firmly” percaya kepada konsep Firman Tuhan sebagai satu-satunya kebenaran Allah dan panggilan hidup kita berbagian di dalam kerajaan Allah untuk melayani Tuhan sampai kedatangan Tuhan kedua kali. Segala kemuliaan hanya bagi Dia. Solideo Gloria.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Monday, February 08, 2010

His Love, My Love, Our Love

Bulan Februari ini kita merayakan 2 events sekaligus yaitu Chinese New Year dan Valentine Day. Kedua events ini kelihatannya totally berbeda karena keduanya memiliki perbedaan kultural antara Timur dan Barat. Tetapi keduanya memiliki dasar yang sama yaitu Love and Togetherness. Kasih dan Kebersamaan. Di dalam kasih ada kebersamaan. Di dalam kebersamaan ada kasih. Jika keduanya tidak ada di dalam keluarga maupun kehidupan manusia maka kelihatannya mereka bersatu di dalam satu bus tetapi mereka tidak saling sapa karena mereka tidak saling mengenal satu dengan lainnya. Oleh karena itu, apa yang dapat menjadi prinsip penting bagi kita semua hari ini dalam memperingati chinese new year dan valentine day?

Kolose 3:1-2 mengatakan bahwa “we are called to set our heart and minds in heavenly places”. Apa maksudnya? Saudara dipanggil untuk hidup konsetrik di dalam konsep kesucian yang Allah tegakkan. Mungkin saudara berkata “buat apa hidup terlalu ideal”. Justru saudara adalah orang yang paling jauh daripada ideal karena saudara telah terlebih dahulu meremehkan ideal sehingga saudara tidak memiliki komitmen maupun motivasi untuk melakukan ideal tersebut. Kegagalan saudara dan saya, mata dan pikiran kita seringkali hanya kita gunakan untuk melihat segala sesuatu yang “earthly things”.

Chinese new year menawarkan “GONG XI FAT CHOY” dengan ucapan Congratulations (good luck) dan prosperity (pengertian aslinya yaitu lot of cash). Semakin banyak yang, semakin beruntunglah kita. Inilah konsep chinese culture yang sebenarnya menggambarkan materialistic mindset manusia dewasa ini. Apakah hidup manusia hanya dinilai dengan keberuntungan dan dinilai dengan uang? Coba saudara pikirkan …. Apakah semuanya ini benar? Di saat kita menerima angpao merah dari orang-orang yang lebih tua daripada kita, kita mungkin bahagia setengah mati karena “panen” kita melimpah. Jika saudara cek, kenapa ada tradisi bagi angpao merah? Karena bagi angpao ada good luck. Pertanyaannya, apakah setiap kita percaya konsep hidup yang seperti ini? Sebagai orang reformed, kita percaya kepada pemeliharaan Tuhan, anugerah keselamatan Tuhan dan belas kasihan Tuhan jauh melebihi setiap konsep good luck yang ada di dalam chinese cultures. Kenapa demikian? Karena hanya di dalam pemeliharaan Tuhan, anugerah keselamatan Tuhan dan belas kasihan Tuhan saja, saya memperoleh kepastian hidup bahwa hidup saya ada pengharapan. Tanpa Tuhan, dimanakah kepastian pengharapan saya? Ketika kita merayakan Chinese New Year, justru kita seharusnya membawa pengharapan kepada keluarga kita dan menguatkan keluarga kita untuk mengutamakan Kristus dalam hidup mereka, bukan harta dunia. Ingat, Matius 16:26 ada tertulis “for what is man profited, if he shall gain the whole world and lose his soul”. Mungkin saudara berkata, Mengapa saya harus melakukan semuanya itu? Jawabannya ada pada satu kata yaitu Kasih.

Valentine Day merayakan tema besar “kasih” yang begitu didambakan oleh manusia. Sayangnya, banyak fakta-fakta tragis yang dialami oleh anak kecil, pasangan muda, keluarga maupun lansia sekalipun, dimana mereka melakukan “violent, angry, fight all the times” sampe “doing the evil things”. Tidak sedikit, mereka dikecewakan oleh pasangannya, keluarganya, saudaranya, komunitasnya, padahal dulunya mereka saling mengasihi. Pertanyaannya, what is wrong with it? Seorang guru bela diri di Amerika Serikat mengatakan “the reason why people are violent, angry and want to fight all the time is because they lack love and affection from another person who they loved”. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena mereka tidak memiliki patokan di dalam love and affection mereka. Mereka hanya menilai love dan affection menurut interpretasi emosi mereka sehingga semua aplikasi cinta kasih merekapun hanyalah menjadi reaksi atas interpretasi mereka masing-masing yang tidak mewakili patokan cinta kasih yang sebenarnya. Tidak heran, orang psikologi menganggap love hanyalah feeling or emotions with strong sense of lust, attraction, affection” sehingga love hanya dinilai dengan emosi. Jacques Derrida, Filsuf Postmodernisme asal Aljazair mengungkapkan bahwa love harus dibedakan antara “the who” with absolute singularity dengan “the what” with specific qualities of the beloved. Apa maksudnya? Pada saat kita mengatakan kata cinta kepada pasangan kita, mengapa kita mencintai dia? Seringkali kita melakukan seduction dalam mengasihi pasangan kita karena “specific qualities” yang ada di dalam diri pasangan kita. I love you because you’re beautiful, you’re charming, you’re sexy, etc. Mungkin terlalu sedikit (atau mungkin tak seorangpun) yang mengatakan I love you because you are you, tanpa mempedulikan “spesific qualities” yang ada pada dirinya. Ini konsep Alkitabiah yang dipinjam oleh Derrida (atau mungkin dirampasnya).

Di dalam Kekristenan, Kasih berasal dari Allah. Kasih Allah adalah kasih yang tidak bersyarat, tidak mementingkan diri sendiri, membangun orang lain dan mengasihi others. Inilah kasih Agape. Bukankah ini konsep kasih yang ideal bagi manusia? Yup. Ini kasih ideal yang harus dijalani oleh manusia, meskipun cinta kasih Tuhan berbeda kualitas dengan cinta kasih manusia, akan tetapi justru inilah disiplin rohani bagi kita untuk mengutamakan Tuhan di dalam kehidupan kita, bukan my will will be done tetapi Thy will be done di dalam cinta kasih kita (eros). Misalnya, soal jodoh. Kembali kepada cinta kasih Tuhan dan biarlah kehendak Tuhan yang selalu menjadi patokan kita bersama untuk menemukan panggilan hidup kita untuk menemukan jodoh atau hidup selibat untuk kemuliaan Tuhan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana saya dapat menerapkan Thy will be done? Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, itulah brotherly love (philia). Bertemanlah dengan others dan berdoalah kepada Tuhan untuk kehendak-Nya jadi dalam hidupmu. Melalui Chinese New Year 2010 ini, Ketahuilah bahwa Allah adalah Kasih (Agape), biarlah setiap kita mengutamakan Allah dalam cinta kasih kita (eros) untuk mengasihi keluarga dan saudara-saudara kita agar mereka dapat mencicipi kasih Tuhan yang menyelamatkan dan bersama-sama belajar mengutamakan Allah melalui hati, pikiran dan tingkah laku kita sebagai anak Tuhan yang mengasihi Tuhan (filia/storge). Terus berjuang di dalam Kasih dan Kebenaran-Nya. Happy Chinese New Year and Happy Valentine Day.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

About Ray

Ray Charles, seorang tuna netra dalam sejarah musik blues yang membuat “geger” blantika industri musik di Amerika Serikat yang sedang bergumul dengan rasisme antara kulit hitam dan kulit putih. Tahun 1948, Ray Charles Robinson menjadi artis terpopuler dengan sentuhan irama blues yang unik dimasanya. Pro dan kontra banyak bermunculan baik memaki Ray dengan mixed style gospel dengan blues maupun memuji Ray karena ide gilanya itu. Pemuja musik jazz ala Nat King Cole dan Charles Brown yang akhirnya melakukan mixed R&B dengan gospel music membuatnya tenar melalui rock and roll-nya. Melalui film Ray (2004), pemeran utama dimainkan oleh Jamie Foxx, saya berusaha membaca diri Ray yang dapat menjadi pelajaran moral bagi saya sebagai orang kristen (in my opinion, of course).

1. Ray Charles adalah golongan second class (waktu itu). Saat itu, kelompok negro dipandang sebagai second class, sedangkan kelompok kulit putih adalah kelompok yang dipandang lebih “high class”. Oleh karena itu, pergumulan rasisme pernah di alami di Amerika Serikat, juga dialami oleh Ray. Kondisi rasisme yang pernah terjadi di Amerika Serikat dimasa silam juga dapat kita lihat di film “The Great Debate” dari Denzel Washington maupun “The Cinderella Man” dari Russell Crowe. Meski demikian, kelompok minoritas dapat memberikan sumbangsih di dalam sejarah musik Amerika Serikat yang akhirnya mempengaruhi dunia. Meski banyak hal saya kurang setuju dengan Ray Charles, satu poin yang dapat saya pelajari bahwa minoritas masih memiliki hak untuk memperjuangkan hak hidup yang diberikan Allah sebagai Sang Pencipta dan manusia (termasuk minoritas) sebagai ciptaan. Di dalam Alkitab, kisah Raja Saul ditolak oleh Allah karena kejahatan hatinya, Samuel menemui Isai (ayah Daud) dan Samuel mau mengurapi anak-anak Isai menjadi raja atas Israel. Namun Allah mengatakan “
But God told Samuel, “Don’t judge by his appearance or height, for I have rejected him. The Lord doesn’t see things the way you see them. People judge by outward appearance, but the Lord looks at the heart” (1 Samuel 16:7). Well, mungkin saudara dan saya adalah kaum minoritas tetapi jika hati kita sungguh-sungguh mau memuliakan Tuhan, Tuhan mau pakai kita yang “minor” ini.

2. Ray Charles hidup di dalam “guilty feeling”. Betapa tidak, Ray selalu terbayang masa lalunya, dimana adiknya, George meninggal dunia akibat masuk ke dalam ember panas. Ia merasa tidak berguna karena ia kurang sigap menolong George alias ia diam tanpa ekspresi melihat tragedi tersebut. Inilah suffering dan pain yang menghantui Ray seumur hidupnya. Menurut saya, semua manusia telah memiliki “guilty feeling dasar” yang juga menghantui hidup manusia yaitu dosa. Ketika mereka melakukan kejahatan ataupun perbuatan yang bertentangan dengan moralitas maka mereka pasti menemukan “guilty feeling” tersebut dan mereka seharusnya jujur terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka seharusnya mengakui dosa mereka dan kembali kepada jalan yang benar di hadapan Sang Pencipta. Celakanya, manusia cenderung menipu dirinya sendiri sehingga mereka malah menimbun dosa-dosanya dan melakukan “revenge” terhadap setiap suffering dan pain mereka dengan melakukan aksi pembalasan kepada “others”. Ray mencari solusi bukan kepada Tuhan, ia malah mencari solusi kepada cocaine, seks maupun kenikmatan yang ia dapat nikmati di dalam kebutaanya. Akhirnya, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada Ray untuk kembali kepada Tuhan melalui nasihat mamanya.

2. Ray Charles adalah golongan tuna netra. Pada mulanya ia lahir di dalam keadaan sehat, sampai pada umur belasan tahun, matanya semakin rabun sampai akhirya ia buta sama sekali sehingga ia tidak bisa melihat secara penglihatannya, tetapi ia mengatakan bahwa aku melihat dengan pendengarannya. Akhirnya, seorang cacat masih dapat “enjoying his life” dalam kecacatannya sampai akhirnya ia berhasil di dalam sejarahnya. Dalam hal ini, orang cacat tidak selalu menyusahkan orang lain, justru mungkin orang cacat malah memberikan teladan hidup yang seharusnya menjadi contoh hidup dalam komunitas manusia dewasa ini. Misalnya, Almarhum Gus Dur, seorang cendekiawan, haji, guru muslim yang memiliki keterbatasan dalam penglihatannya tapi hatinya untuk bangsa Indonesia sangat terlihat jelas. Gus Dur paling benci dengan orang munafik yang berada di dalam jajaran pemerintahan seperti anggota DPR, MPR yang dianggapnya sebagai “taman kanak-kanak”. Secara penampilan sehat tetapi banyak orang yang hatinya kekanak-kanakan bahkan kotor. Ray Charles, meskipun cacatpun, ia jatuh ke dalam dosa. Sejak kekayaan menimbuni hidupnya, ia menjadi “the junkies” dan “cheating husband” yang mencoreng teladan keluarga kristen kulit hitam di Amerika Serikat. Ray suka bermain perempuan, money oriented, power controled, coccaine sebagai pemicu semangat. Inilah contoh moralitas manusia yang telah jatuh ke dalam dosa (gak peduli ia cacat atau sehat) karena melanggar hukum Taurat dan melanggar ketentuan Allah sendiri. Oleh karena itu, Ray Charles teringat kata-katanya ibunya tentang Tuhan Yesus bahwa Yesus lebih bermakna dari apapun. Puji Tuhan! Ray akhirnya bertobat dan memorynya membawa dia untuk melihat Yesus Kristus begitu berharga di dalam hidup manusia karena inkarnasi – jawaban dari hidup di dalam moralitas yang dikuduskan oleh Allah. Ray bertobat dan setiap memorinya diisi Anak Domba Allah, Ia mengisi hidup orang percaya dan mereka dapat menyaksikan bagaimana Allah bekerja di dalam hidup mereka tanpa melakukan sebuah penghujatan kepada Allah, tetapi sebagai disiplin rohani untuk menyerahkan diri untuk menyembah Allah. Haleluyah.

Hidup Ray memang tidaklah sederhana dan sempurna. Itulah cermin gambaran hidup saudara dan saya juga. Tetapi tema pertobatan dan pengampunan, itulah yang menjadi keindahan di dalam hidup Ray. Bagaimana dengan saudara dan saya? Menurut saya, Ray hanyalah salah satu dari kaum tuna netra yang bergumul dengan hidupnya. Fanny Crosby, penulis hymnes yang begitu “agung”, ia buta karena kesalahan diagnosa dari dokter. Meski demikian, karya-karyanya jauh melampaui apa yang dilihat oleh manusia yaitu melihat Kristus sebagai satu-satunya sandaran kekal yang “real”. Biarlah berkat rohani ini menguatkan setiap kita untuk tetap melihat kepada keselamatan di dalam Kristus, apapun situasinya. Tuhan memberkati kita semua.


Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Sunday, February 07, 2010

Fighting The Virus

Virus H1N1 merajalela di seluruh dunia, dimulai dari “swine flu” dari Mexico sampe seluruh dunia. Di Beijing, lebih dari 42.000 orang “confirmed” terjangkit virus H1N1 dan puluhan orang meninggal dunia akibat virus tersebut. Menurut catatan WHO se-dunia tahun 2009, 400.000 orang terjangkit virus H1N1. Virus tersebut merambat begitu “rapidly”, khususnya musim dingin. Dimana-mana, setiap orang harus “ditembak” dengan detektor panas badan. Vaksinasi dan kebersihan menjadi kunci efektif melawan virus yang berusaha masuk ke dalam tubuh manusia dan mengacaukan daya tahan tubuh manusia sampai berhasil mencabut nyawa manusia. Tidak sedikit, kita berusaha melawan virus dengan menghantam tubuh kita dengan anti-biotik, agar kita tetap sehat, padahal justru kita telah melakukan “abusing” terhadap tubuh kita sendiri. Menurut dokter, anti-biotik hanya didapat diminum kalo memang dibutuhkan. “Cleanliness” adalah hidup sehat yang paling higenis.

Di dalam kehidupan kekristenan, kita juga sedang melihat dosa merajalela di seluruh penjuru dunia, dimulai dari kejatuhan Adam hingga hari ini. Allah menentang dan melawan dosa (Yesaya 63:10). Dosa merupakan satu fakta dan suatu “virus” yang terus menerus tak pernah berhenti. Setelah kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa, “virus” dosa telah berakar dan mencengkeram di dalam segala upaya kehidupan manusia. Manusia dikontaminasi oleh “virus” dosa sehingga mereka hidup berpusat pada kebijakan sendiri dan menolak kebijaksanaan dan kebenaran Allah, Sang Pencipta. Manusia menolak Allah. Akibatnya, dosa ikut mencemari seluruh kehidupan dan kebudayaan yang dijalani oleh manusia. Tetapi karena begitu besar kasih Allah kepada manusia, manusia masih diberikan pengharapan keselamatan yang diberikan hanya melalui Inkarnasi Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus, Sang Hidup kekal. (Yohanes 3:16).

Seharusnya kita sebagai anak-anak Tuhan memiliki kesensitifan terhadap dosa sehingga kita bukan hidup liar di dalam dosa, tetapi kita berjalan di dalam kuasa Roh Kudus dan tetap berperang melawan dosa di dalam kehidupan kita dan tetap belajar menghidupi kebenaran Allah di dalam hidup kita sehingga hidup dan kebudayaan manusia dihidupi di dalam tatanan kebenaran Allah.. Inilah tugas kita sebagai orang Reformed, memberitakan Injil ke seluruh permukaan bumi (gospel mandate) dan mempengaruhi dunia dengan Firman Tuhan (cultural mandate). Keep Cia Yo!


Dalam Kasih Kristus
Daniel Santoso
Beijing, China

The Need of Living Morality

Hari ini kami sedang berdiri diatas sebuah negara komunis terbesar yang disegani oleh negara adi kuasa Barat, salah satunya Amerika Serikat. Betapa tidak, President Amerika Serikat, Barak Obama datang melakukan kunjungan kenegaraan ke China baru-baru ini, bukan sebagai “cowboy” seperti “american heroes”. Justru Obama datang untuk memohon China guna membuka ruang lebih luas untuk menerima barang-barang dari Amerika Serikat. Seorang sosiolog Amerika Serikat keturunan Jepang, Prof. Francis Fukuyama, penulis buku “The end of history and the last of man” percaya bahwa konsep demokrasi liberal adalah jalan yang terbaik menuju dunia yang makmur. Fukuyama melihat Amerika Serikat tidak bakal mudah bernegoisasi dengan China karena China tidak memiliki “universalistic ideology” sehingga China memiliki peluang besar menjadi “the next powerful country in the world”. Henry Kissinger, orang penting dalam sejarah Amerika Serikat juga pernah memberikan pendapat yang kurang lebih sama bahwa China adalah “scary country” dan China bakal merubah dunia di dalam sesaat waktu. Fakta membuktikan kemajuan ekonomi China yang pesar dalam 15 tahun terakhir menjadikan China sebagai “the real dragon of Asia”. Pertanyaannya, Apakah perkembangan ekonomi China sudah cukup memberikan jaminan bahwa China hidup makmur? Justru tahun 2008, President China, Hu jintao mengatakan tidak cukup. Negara China harus equal dengan “soft power” dengan chinese thought, chinese culture dan chinese values yang dimotori oleh spirit of benevolence (spirit of ren). Ini perubahan radikal yang dialami oleh China dewasa ini. Konsep diatas ditolak oleh pendahulunya, Mao Tze Dong, tetapi bibit “soft power” sudah dimulai oleh Deng Xiao Ping yang lebih “open minded” terhadap “western cultures”.

Spirit of Ren yang memotori perubahan China 15 tahun terakhir ini menjadi kesadaran China di dalam pentingnya moralitas dalam sebuah bangsa. Jika sebuah bangsa tidak memiliki moralitas yang baik maka sebesar apapun bangsa itu akan hancur. Sayangnya, China mengantungkan standar moralitas mereka bukan kepada Allah, tetapi kepada konsep humanisme yang ateis. Bagaimana kita melihat standar Allah?

Matius 6:33 mengajarkan kepada kita untuk mencari dahulu kerajaan Allah dan kebenaran Allah. Mengapa kerajaan Allah dan kebenaran Allah menjadi penting? Karena hanya di dalam kerajaan Allah dan kebenaran Allah ada Kasih yang menyelamatkan mereka kembali kepada Allah.

Dunia semakin hidup di dalam globalisasi sehingga
1. Prinsip value of life manusia hanya didasarkan pada batas fisikal dan fenomenal “sekarang”.
2. Target of life yang manusia jalani hanya untuk memperkaya “gaya hidup” manusia.
3. Aplikasi hidup mereka hanyalah dipandang dari function yang pragmatis saja.

Justru Firman Tuhan mengajarkan setiap manusia untuk meletakkan:
1. Prinsip value of life manusia didasarkan pada “hidup kekal” yang diberikan Allah kepada manusia di dalam spiritualitas.
2. Target of life manusia harus memperkaya hidup manusia dengan makna hidup yang diberikan Allah.
3. Aplikasi hidup manusia harus dilihat dari vocation yang diberikan Allah kepada setiap manusia.

Inilah tugas gereja. Gereja harus berani menggelisahkan jemaat untuk mencari apa yang Tuhan kehendaki, bukan apa yang manusia kehendaki. Justru gereja harus berani menerima tugas yang berat ini dan melakukan perjuangan sengit menantang zaman karena inilah misi penginjilan yang kembali kepada apa yang Tuhan kerjakan melalui Yesus Kristus. Maukah kita berjuang mati-matian menegakkan standar Allah di dalam kerajaan Allah dan kebenaran-Nya bagi dunia ini?

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Guangzhou, China

Friday, February 05, 2010

Reflection on Joni's Promise

Janji Joni, sebuah film komedi populer Indonesia (2005) yang memberikan perenungan moralitas terhadap tema penting dalam kehidupan manusia yaitu:
1. Vocation. Joni mempercayai panggilan hidupnya sebagai pengantar film yang dapat diandalkan. Meskipun gaji yang ia peroleh tidak terlalu banyak, baginya itu cukup dan Joni “enjoy” dengan pekerjaannya tersebut. Hari ini, bukanlah banyak orang bekerja bukan untuk menjalani panggilan hidupnya tetapi banyak orang hanya mencari “pleasure” alias kenikmatan hidup. Kalaupun perlu, bekerja dengan cara yang paling harampun dilegalkan demi “pleasure”. Oleh karena itu, Tidak heran jika budaya korupsi merajalela dan bermain dalam persaingan hidup yang hanya dinilai dari kekayaan material belaka. Profesi Joni seringkali dianggap sebuah profesi “mboh cuan”, tetapi justru profesi inipun penting di dalam kebudayaan. Jika tidak ada pengantar film maka tidak mungkin film dapat diputar dan penonton dapat menonton film tersebut. Maka profesi ini penting. Contoh: Apa jadinya dunia jika tidak ada tukang sampah? Ya dunia hanyalah sampah. Banyak orang menghina tukang sampah sebagai pekerjaan yang “jorok”. Justru kita dapat melihat pekerjaan sebagai tukang sampah juga sebuah pekerjaan yang mulia. Pekerjaan yang kecil dan pekerjaan yang besar adalah panggilan hidup yang mulia, di saat kita semuanya kita lakukan “before God”.
2. Responsibility. Joni belajar menjalani sebuah tanggungjawab atas pekerjaan yang ia harus jalani yaitu ia tidak boleh terlambat dalam mengantarkan film tersebut. Oleh karena itu “speed” dan “trust” menjadi bagian yang Joni senantiasa pelajari di dalam benaknya sebagai pengantar film. Jika ia terlambat maka ia mengecewakan penonton. Di dalam film tersebut, Joni tidak pernah sekalipun terlambat. Joni memiliki “track record” yang “perfect” sampai nama Joni menjadi jaminan. Tetapi, Dikisahkan Joni terlambat beberapa menit dan ia menyesali semuanya. Padahal, banyak musibah dia alami, baik dari kehilangan motor saat menolong orang tua menyebrang jalan, kehilangan tas isi film waktu menolong seorang perempuan yang mau dijambret, membantu mantan preman yang menjadi sopir taxi “yellow cab” menemani istrinya di rumah sakit dan meemberi nama anak tersebut “DAMN”. Hahaha.
3. Courage. Joni berani menjalani setiap kesulitan demi kesulitan demi tuntasnya tanggungjawab dia sebagai pengantar film, ia rela capek, kerja keras dan semuanya itu bukan tuntutan dari “job description”, tetapi ini persoalan hati dan komitmen yang jelas. Joni terus berusaha mencari jalan, mengejar timing. Akhirnya, meskipun Joni terlambat beberapa menit dan recordnya “tercoreng”, Ia telah berusaha semaksimal mungkin. Luar biasa!
4. Goodness. Joni banyak melakukan hal yang baik, tapi ia malah “dikadalin” ama orang jahat. Demi menolong seorang buta, motornya hilang dicuri orang, demi menolong perempuan yang mau dijambret, tas isi rol filmpun lenyap dibawa kabur oleh perempuan yang ditolong Joni. Ia tabur kebaikan tapi malah menerima panen kejahatan dari orang lain. Ini fakta hidup bahwa orang baik adalah target para penipu. Toh, Joni tetap memperjuangkan kebaikan menjadi fokus yang tidak boleh hilang di dalam “vocabulary” hidupnya.

Film yang disutradari oleh Joko Anwar ini cukup mengesankan karena keberagaman karakter manusia menunjukkan bentuk masyarakat yang kompleks di dalam perbedaan dan persamaan. Inilah sebuah realita. Jika demikian, bagaimana dengan kehidupan kekristenan? Apa jadinya jika perspektif kekristenan berdiam diri? Justru Kekristenan harus memberikan penjelasan melampaui moralitas dan pesan motivator manusia tetapi bagaimana kekristenan membawa konsep Kebenaran menjadi tuan atas pesan moral di dalam film tersebut.
1. Yesus Kristus adalah satu-satunya teladan hidup manusia yang mampu membawa setiap kita untuk mengenali, menelaah, menjalani dan menghidupi perjuangan hidup meneladani-Nya. Kenapa harus Kristus? Karena Yesus Kristus adalah satu-satunya manusia yang dapat melakukan apa yang menjadi standar Allah. Ada perbedaan kualitatif sehingga fokus keteladanan di dalam Kristus jelas berbeda dengan fokus keteladanan di dalam diri manusia. Di dalam fokus keteladanan Kristus, kita diajarkan untuk melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan, sedangkan fokus keteladanan manusia hanyalah mengajarkan apa yang baik menurut masyarakat.
2. Ikut Yesus, ada tanggung jawabnya sebagai seorang “believer”. Banyak manusia melakukan segala sesuatu hanya didasarkan dengan “money” tetapi kita kurang peduli terhadap tanggungjawab kita di hadapan Tuhan sehingga kita menjalani kehidupan dan pekerjaan kita secara terpaksa dan kita tidak menikmati kehidupan tersebut. Justru kita harus menjalani hidup kita sesuai hati nurani yang suci dan menjalani kehidupan yang selalu diperbaharui menurut apa yang dikehendaki oleh Allah melalui keselarasan dengan Firman Tuhan. Tanggung jawab setiap kita bukan asal memperoleh gaji saja tetapi bagaimana setiap kita dapat memuliakan Tuhan melalui setiap kehidupan kita masing-masing.
3. Hidup kristen bukan berarti lepas daripada kesulitan seperti apa yang didengungkan oleh penganut teologi kemakmuran. Justru, kesulitan bukanlah sebuah subyek yang terpisahkan dalam kehidupan kristen, justru orang kristen hidup melampaui setiap kesulitan yang ada. Kalaupun belum dapat melewati kesulitan itu, justru kita harus belajar rendah hati dan menyadari bahwa hanya pertolongan dari Tuhan mampu memberikan pengertian bagi setiap kita untuk memahami berkat-berkat Tuhan dibalik setiap kesulitan tersebut dan bertumbuh dewasa di dalam Kristus.


Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Follow The Leader

Mao Tze Dong, seorang figur pemimpin karismatik yang paling berpengaruh dalam sejarah perjuangan terbentuknya “People Rebuplic of China”. Patung-patungnya berada di mana-mana. Bahkan beberapa patung Mao dijadikan obyek penyembahan oleh pendukung kepercayaan Mao dan Taoisme, khususnya memperingati hari kelahiran Mao sebagai sebuah penghormatan. Kenapa mereka melakukan semuanya itu? Salah satu alasan mereka adalah karena memori yang mereka miliki hanyalah memori mengenai Mao. Oleh karena itu, tidak sedikit mereka menganggap Mao sebagai tuhan, bukan sekadar pahlawan nasional. Di Hongkong, seorang penjual t-shirt ngefans dengan Mao sehingga ia mendesign kaos bergambar Mao dan menjualnya dengan harga yg tidak murah. Hebatnya, kaos tersebut laku keras bagai kacang goreng. Bahkan ketika dirinya ditanya oleh seorang jurnalis lokal, ia bangga mengatakan bahwa popularitas kaos Mao tidak kalah dengan Giorgio Armani. Mao memberikan banyak “lucky” kepada penjual tersebut. Well, Mao memang populer tetapi dia adalah tuhan?

Siapakah Mao Tze Dong? Professor Roderick Macfarquhar dari Harvard University mengatakan bahwa Mao hanyalah seorang manusia biasa yang di dalam hidupnya telah melakukan kesalahan fatal (big error) yaitu usaha meniadakan sejarah melalui revolusi kebudayaan (cultural revolution). Banyak karya-karya kebudayaan dari berbagai zaman dihancurkan atas perintah Mao Tze Dong sehingga kebudayaan China telah kehilangan banyak warisan-warisan kebudayaan yang “exist” dari abad ke abad. Menurut informasi dari pendeta senior saya, jika kita melihat museum di Tian An Men, Beijing maka kita hanyalah menikmati barang museum duplikat, sedangkan barang museum yang asli justru dapat kita nikmati di museum nasional di Taipei karena barang bersejarah saat itu dibawa keluar China oleh Kuo Min Tang. Inilah kerugian terbesar dari Revolusi Kebudayaan yang dipelopori oleh Mao Tze Dong. Meski demikian, toh nama besar Mao Tze Dong tetap menggema di seluruh pelosok Tiongkok, bahkan seluruh dunia sebagai pemimpin bangsa rakyat Tiongkok. Sebenarnya, apa standar pemimpin yang sebenarnya?

Di dalam Injil Matius 20:25-28, Seseorang yang pantas dinyatakan sebagai pemimpin adalah seseorang yang mengutamakan pelayanan (stewardship), pengorbanan dan kepentingan orang lain Kepemimpinan bukanlah kekuasaan. Kepemimpinan, justru dimulai dari pengorbanan dari atas turun ke bawah guna membawa orang lain kembali kepada standar maupun goal yang kembali kepada pimpinan. Hari ini banyak orang belajar kepemimpinan bukan mengikuti standar Alkitab., tapi standar humanis. Padahal di dalam kepemimpinan adalah “spiritual dimension” yaitu Amanat Allah yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah (Matius 25:14-30). Kita bukan dipanggil menjadi pemimpin yang populer seperti Donald Trump, Bill Gates, Barak Obama, Hillary Clinton, dll. Justru, kita harus menjadi seorang pemimpin yang mengenali, memahami dan menghidupi signikansi kepemimpinan yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kemuliaan-Nya, di dalam standar-Nya.

Dalam Kasih Kristus
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan

Crisis ... Glad or Gloom?

Krisis Moneter, sebuah problema global yang memberikan goncangan besar bagi manusia
di dunia dalam menanggapi hidup yang semakin “sulit” dan “mengerikan”. Bagaimana saudara dan saya menyingkapi krisis moneter? Tidak sedikit orang yang merasa terpukul oleh krisis moneter tersebut. Akan tetapi, ada survei global yang memberikan perbandingan 1 dari 4 orang merasa lega dengan krisis global ini karena mereka menyadari prioritas hidup mereka. Kesadaran prioritas hidup mereka dimulai dari kesulitan situasional yang memberikan dampak perubahan psikologis untuk “postponing” baik menikah, punya anak, pindah rumah, ganti pekerjaan maupun mengambil pendidikan yang lebih tinggi. Pertanyaan yang muncul adalah apa prioritas hidup manusia hari ini? Banyak orang menjawabnya dengan jawaban: memperoleh kebahagiaan. Demi kebahagiaan, mereka rela hidup sederhana, rela hidup susah.

Di kala krisis, banyak manusia menemukan kesulitan dalam hidupnya, baru mencari Tuhan. Oleh karena itu, tidak heran jika Sigmund Freud dan Karl Marx berteori bahwa Tuhan hanyalah produksi dari situasi yang tak berdaya ketika manusia kehilangan jalan kebenaran. Freud dan Marx mempercayai sebuah falsafah bahwa agama tidak beda dengan opium yang menghilangkan derita sementara manusia. Agama muncul dimulai dari rasa takut melihat realita hidup yang penuh kesulitan dan tantangan. Benarkah demikian?

John Calvin mengawali sebuah kehidupan agamawi kepada Tuhan dengan sebuah ketaatan terhadap Kitab suci sebagai aturan bagi kehidupan yang pasti memberikan sukacita dalam menjalaninya. Ketaatan dan sukacita adalah “one packet”. Jika kita mengatakan diri telah taat tetapi kita belum bersukacita maka kita masih belum taat kepada-Nya. Kedua, Ketaatan dan hidup kudus menurut kitab suci hanya dapat diperoleh di dalam karya Kristus. Tanpa karya Kristus, segala sesuatunya hanyalah bersifat lahiriah dan itu tidak cukup. Kehidupan spiritual bukan membuat kita takut kepada realita hidup yang penuh kesulitan dan tantangan, justru kehidupan spiritual bersama Kristus memberikan ketulusan hati dan kerelaan hati untuk menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus. Dalam sejarah misi, kita dapat banyak belajar dari para misionaris seperti Hudson Taylor, C.T Stud, Nomensen. Iman kekristenan yang mereka imani justru memberikan indikasi bahwa mereka bukan mendasari kehidupan religiusnya dengan pemahaman takut terhadap kesulitan. Justru mereka masuk ke dalam kesulitan, mereka mengambil resiko di dalam kesulitan dan mereka melewati kesulitan di dalam Kristus.

Dalam Kasih Kristus
Daniel Santoso
Guangzhou, China

Aula Simfonia Jakarta

Vitrivius, seorang arsitek Roma abad 1 memberikan 3 prinsip mengenai “good building” yaitu Pertama, Firmitatis (menekankan kondisi bangunan) Jika bangunan tidak memiliki firmitatis, bangunan tersebut hanyalah sebuah fenomenal yang tidak bertahan lama. Kondisi bangunan menentukan bangunan yang baik. Baru-baru ini satu gedung perkantoran di daerah Taiwan roboh, padahal gedung perkantoran tersebut baru 3 tahun. Problemnya adalah mutu bangunan belum memenuhi syarat firmitatis yang kuat. Firmitatis menjadi poin penting dalam bangunan karena umur gedung tersebut ditentukan dari firmitatis yang kuat. Kedua, Utilitatis (menekankan fungsi bangunan bagi orang lain), Ketiga, Utilitatis, Fungsi menjadi poin penting dalam membangun sebuah gedung, Apa jadinya bila tidak ada poin utilitatis? Tentu saja, gedung tersebut tidak akan berfungsi secara maksimal alias mandul memberikan sumbangsih dalam perjalanan hidup manusia. Jika saudara melihat Eropa, kerajaan dan gedung-gedung gereja menjadi daya tarik tersendiri di dalam dunia arsitektur. Mengapa demikian? Kerajaan melayani rakyat. Gereja melayani Tuhan. Ada fungsi-fungsi penting dan sakral dalam fungsi bangunan tersebut. Ketiga, Venustatis (ada keindahan yang membangunkan semangat). Neuroaesthetic. Dalam arsitektur, estetika memiliki “linked” dengan “order” dan “balance”. Terkadang beberapa designer rela membuang “function” demi sebuah “beauty”. Tentu saja, keduanya gak bisa dipisahkan karena kita adalah manusia yang menekankan fungsi dalam kehidupan dan keindahan melampaui ruang dan waktu karena keindahan bukan sebuah material namun sebuah “sukacita”.

Sebuah kebanggaan bagi rakyat Indonesia, Aula Simfonia Jakarta menjadi auditorium pertama di ibukota yang dikhususkan bagi pentas musik klasik dengan ornamen-ornamen “renaissance”, potret para komponis dan gedung pementasan yang anggun, megah dan besar. Aula Simfonia Jakarta didesign oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, seorang pendeta reformed, teolog reformed, filsuf, musikus, ahli sejarah, guru besar, arsitek.

Suara akustik Aula Simfonia Jakarta menekankan hasil “direct sound”, “early reflection sound” dan “overall reverberation” yang jernih. Tidak mudah bagi arsitek dalam membangun sebuah auditorium dengan suara akustik yang jernih. Menurut informasi sebuah website http://www.church-acoustics.com, kesulitan dalam design sebuah auditorium adalah memperoleh “good projection of the sound to the rear of th enclousure”, “good clarity and articulation”, “good balance of low and high frequencies”, “feeling of intimacy and presence”. Aula Simfonia Jakarta merupakan salah satu auditorium di seluruh dunia yang telah melewati kesulitan tersebut. Puji Tuhan! Segala kemuliaan hanya bagi Allah saja.

Dalam Kristus
Daniel Santoso
Jakarta, Indonesia

On Zionhollywoodism

Baru-baru ini saya membaca sebuah buku berjudul “Zionhollywoodisme” yang ditulis oleh seorang analis politik Iran, Dr. Majid Shafa Taj. Istilah “Zionis” menjadi haram dalam vocabulary Dr. Majid Shafa Taj yang penuh dengan rasisme nan kafir (dalam hal ini, kekristenan digabungkan ke dalam golongan zionis). Ia menganggap Zionis cenderung memisahkan agama dengan dunia, padahal itu konsep dualisme yang bukan ajaran yahudi maupun kekristenan. Dalam tradisi Yahudi dan kekristenan, justru mereka adalah kelompok yang tidak kompromi dengan dunia. Respon kekristenan dapat mereka lihat jelas di dalam respon Miss California 2009, Miss. Carrie Prejean yang awalnya ia mendapatkan nominasi runner up pertama dalam pemilihan Miss USA, akhirnya ia harus melepaskan kesempatan untuk memperoleh nominasi tersebut karena Carrie menentang same marriage karena “ it is about being biblically correct!”. Salute!

Dalam buku tersebut, Dr. Majid Shafa Taj mengatakan bahwa kaum Yahudi menggambarkan dirinya sebagai orang yang paling “tersendiri” dalam tokoh film hollywood, misalnya Mickey Mouse, The Ugly Duckling yang memperoleh pengharapan pada saat mereka menghadap kepada matahari. Menurutnya, matahari digambarkan sebagai pulang ke tanah perjanjian kaum Yahudi sehingga film-film tersebut memberikan konsep pengharapan bagi kaum pilihan Allah yang tertindas, dalam hal ini kaum Yahudi. Ia memberikan propaganda kepada kaum muslim agar mereka tidak meniru hidup orang-orang kafir yang dianggapnya “haram”. Sebagai contoh, Dr. Majid Shafa Taj mengutip Will Durrant dalam bukunya “History of Civilization” mengatakan bahwa Christopher Columbus memulai ekspedisi suci mencari “tanah perjanjian”. Menurut versi Dr. Ali Syariati, sebelum Columbus tiba di “tanah perjanjian”, benua Amerika telah tergambar di dalam peta yang dibuat oleh seorang muslim yang bernama Abu Raihan Biruni yang dicuri oleh Christopher Columbus. Dr. Majid Shafa Taj menuduh tanpa bukti bahwa Columbus bukan pahlawan yang baik, justru dia seorang pembantai, penganut perbudakan, pemerkosa wanita. Menurut saya, inilah “perang perspektif” dimana Barat dan Timur saling membenarkan perspektif mereka masing-masing sehingga kebenaran menjadi “kabur” sehingga “doubles perspectives” hidup bersama-sama bagai padi dan lalang tanpa kepastian siapa yang benar dan siapa yang salah. Dalam hal ini, Film “The Flag of Our Fathers” dan “The Story of Iwo Jima” menjadi “doubles perspectives” yang hidup bagai padi dan lalang saling mempengaruhi “massa”. Dunia berusaha mengajak “padi” dan “lalang” berdialog. Bagaimana saudara menanggapinya? Tentu saja, dialog bakal memperluas wawasan informasi mengenai “padi” dan “lalang” tetapi jika hati mereka tidak “takut kepada Tuhan” dan mau terbuka mencari kebenaran menurut perspektif yang benar maka “perang perspektif” tetap “exist” mewarnai ambiguitas dunia dengan kekayaan informasi tanpa kepastian kebenaran yang “akurat”. Hanya Tuhan yang mampu memberikan kebenaran yang sejati! Saya bukan membela Zionis maupun Barat karena sekularisme adalah raja Barat dan Zionisme masih menunggu kedatangan Mesias seperti raja Daud. Pertanyaannya adalah siapakah kebenaran sejati tersebut? Hanya Perspektif Allah memberikan deklarasi iman bahwa satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup adalah di tangan Yesus Kristus. Oleh karena itu, perspektif kebenaran harus di dalam Kristus.

Dalam Kasih Kristus
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan, ROC

Exile

Tidak mudah menjalani hidup sebagai seorang usiran seperti Edward Said. Lahir di Palestina, pernah mengungsi ke Mesir dan menjadi imigran di Amerika Serikat. Usaha Said menafsir ulang sejarah dari perspektif orang usiran cukup memberikan serangan sengit terhadap dunia barat yang dianggapnya borjuis. Konteks keterusiran Said berusaha memberikan sebuah pemahaman “ada kebenaran dibalik penindasan”. Hal tersebut tersirat di dalam bukunya Orientalism (1978) dalam konsep strategi kekuasaan yang dipengaruhi oleh Antonio Gramsci dan Michel Foucault, keluar dari dogma dan pendirian partai yang “kaku”. Francis Fukuyama, pencetus “end of history syndrome” yang mempercayai demokrasi liberal adalah penyelamat bagi dunia Barat dilawan keras oleh Said. Bagi Said, Fukuyama malah memperkembangkan kecenderungan imperialisme yang dicemari oleh kebutuhan ideologis, motivasi kekuasaan membangun imperium, superioritas rasial dan kultural yang melekat pada tujuan politik. Said membaca Barat dengan antagonis, berusaha keras membebaskan diri dari esensialisme karena baginya, kebenaran adalah situasional. Tidak heran, konsep kebenaran Said menjadi relatif alias “blur” seperti konsep post-strukturalisme dari Michel Foucault, Roland Barthes, Jacques Derrida yang mempercayai “tidak ada yang transparan di dalam dunia ini”. Dalam hal ini, Epistemologi alternatif ditawarkan oleh Said untuk menyisihkan wawasan barat yang “erosentris”. Said mengadopsi pemikiran Antonio Gramsci untuk membangun massa dan membangun kekuasaan minoritas melalui persuasi dan kolaborasi. Said tidak sendirian. Daniel Barenboim (musikus) dan Salman Rushdie (novelis) menjadi ikon perjuangan Said dalam era abad 21 ini.

Kedatangan Yesus Kristus ke dalam duniapun tidak terhindar dari “exile”. Bayi Yesus berpindah kota dari Betlehem, Mesir, Nazaret karena desakan ulah antagonis kaisar agustus dan raja herodes terhadap bayi Yesus. Pertanyaannya, kenapa kaisar agustus dan raja herodes begitu antagonis terhadap bayi Yesus? Mereka tahu Yesus adalah raja orang Yahudi yang menggenapi nubuat leluhur. Yesus bukan sosok figur sembarangan karena Yesus adalah Kebenaran yang diwahyukan oleh Allah dan ditunggu-tunggu oleh manusia sepanjang zaman. Kebenaran Kristus bukanlah kebenaran situasional. Kebenaran Kristus adalah kebenaran yang absolut dan sakral. Dunia membencinya sehingga kebenaran direlatifkan dan disituasionalkan di dalam kepalsuan di dalam “label” yang religius.

Postmodern gencar mempengaruhi dunia dengan “spirit of nihilism” yang menekankan makna adalah ciptaan historis dan kultural sehingga makna tidak akan pernah hanya memiliki satu definisi. Jika demikian, kebenaran situasionalpun menjadi tidak akan pernah memiliki satu kebenaran. Pertanyaannya, bagaimana tokoh-tokoh postmodern menanggapi peristiwa Holocaust? Bukankah sebagian dari tokoh-tokoh postmodern adalah korban dari peristiwa Holocaust? Bagaimana mereka menanggapi kebenaran Hitler? Bagaimana mereka menanggapi kebenaran orang-orang Yahudi saat itu? Jika kebenaran adalah situasional, mana kebenaran yang salah? Mana kebenaran yang benar? Inilah problem dari nihilism yang liar sehingga kebenaran bukannya memberikan “kepastian” malah memberikan ruang ambiguitas yang lebih liar lagi. Oleh karena itu, dimanakah kebenaran absolut?

Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, kebenaran manusia adalah relatif karena dasar pijakan dan fondasi pemikiran manusia telah “terinfeksi” dosa sehingga tiada seorangpun dapat memberikan konsep kebenaran yang paling akurat benar, kecuali Allah dan karya Allah di dalam Yesus Kristus, satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup. Inilah tantangan hidup kita dalam era postmodern. Kita hidup di dalam “pembuangan”. Masihkah kita “hidup benar” di dalam kebenaran Kristus?

Dalam kasih Kristus
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan, ROC

Ad Fontes

Sebuah kata reformasi yang mendorong setiap hati nurani manusia kembali kepada sumber kehidupan kekal, Back to the sources! Di dalam Filsafat Modern, Hegel mengatakan bahwa kesalahan terbesar dari manusia di dalam sejarah adalah manusia tidak mau belajar sejarah. Kenapa sejarah menjadi penting? Karena di dalam sejarah banyak kelimpahan prinsip, teladan, pengalaman, pengajaran yang baik dilakukan oleh orang-orang sebelum era kita hari ini. Di dalam kekristenan, kita dapat melihat tokoh-tokoh yang memberikan “spiritual insight” kepada kita mengenai apa itu kekristenan, apa itu doktrin, apa itu penginjilan, apa itu buah pelayanan seperti Augustine, Martin Luther, John Calvin, Jonathan Edwards. Mereka bukanlah tokoh-tokoh biasa. Mereka adalah kaum intelektual yang menjadi instrumen belas kasih dan anugerah Allah. Poin penting dalam hidup mereka adalah Scripture Alone menjadi “the guiding principle” dalam setiap karya-karya yang menakjubkan tersebut. Terlintas dalam benak saya, bagaimana hidup saya hari ini? Fakta hidup manusia membuat manusia tidak peduli terhadap sejarah, mereka lebih menyukai hidup “liar” di dalam kreativitas membuat sejarah baru melalui inovasi populer, tanpa kembali kepada “ad fontes” yang sesungguhnya.

1. Ad fontes is the work of God

Siapakah sumber hidup manusia? Apa sumber hidup manusia? Bagaimana sumber mengisi hidup manusia? Mengapa manusia harus memiliki sumber hidup? Pertanyaan “worldview” ini seharusnya mengugah setiap kita untuk “realized” bahwa ini bukan sebuah pertanyaan tetapi ada konfirmasi bahwa Allah adalah sumber hidup manusia. Firman Allah adalah sumber hidup manusia. Karya Allah adalah sumber yang mengisi hidup manusia. Kasih anugerah Allah rela turun ke dalam dunia tuk membawa manusia yang “fallen into sin” kembali kepada Allah. Sumber hidup manusia adalah karya Allah. No offense!

2. Ad fontes is given to us in Christ

Sumber hidup sejati tidak bisa dilepaskan dari Anugerah Allah. Tidak ada seorangpun dapat mengusahakan dirinya menemukan sumber hidup yang sejati dengan status “fallen into sin”. Ad fontes hanya dapat diwakili oleh Allah. Nihilisme hanya bikin ad fontes manusia semakin nihil. Sekali lagi, Manusia tidak mungkin dapat mengerti ad fontes tanpa karya Allah. Karya Allah diberikan kepada kita melalui Yesus Kristus untuk menebus dosa orang percaya dan membawa setiap orang percaya mencicipi “taste of ad fontes in Christ” yang mengerti makna hidup manusia yang sesungguhnya hanyalah di dalam Allah.


Dalam Kristus
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan, ROC

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...