Monday, February 08, 2010

About Ray

Ray Charles, seorang tuna netra dalam sejarah musik blues yang membuat “geger” blantika industri musik di Amerika Serikat yang sedang bergumul dengan rasisme antara kulit hitam dan kulit putih. Tahun 1948, Ray Charles Robinson menjadi artis terpopuler dengan sentuhan irama blues yang unik dimasanya. Pro dan kontra banyak bermunculan baik memaki Ray dengan mixed style gospel dengan blues maupun memuji Ray karena ide gilanya itu. Pemuja musik jazz ala Nat King Cole dan Charles Brown yang akhirnya melakukan mixed R&B dengan gospel music membuatnya tenar melalui rock and roll-nya. Melalui film Ray (2004), pemeran utama dimainkan oleh Jamie Foxx, saya berusaha membaca diri Ray yang dapat menjadi pelajaran moral bagi saya sebagai orang kristen (in my opinion, of course).

1. Ray Charles adalah golongan second class (waktu itu). Saat itu, kelompok negro dipandang sebagai second class, sedangkan kelompok kulit putih adalah kelompok yang dipandang lebih “high class”. Oleh karena itu, pergumulan rasisme pernah di alami di Amerika Serikat, juga dialami oleh Ray. Kondisi rasisme yang pernah terjadi di Amerika Serikat dimasa silam juga dapat kita lihat di film “The Great Debate” dari Denzel Washington maupun “The Cinderella Man” dari Russell Crowe. Meski demikian, kelompok minoritas dapat memberikan sumbangsih di dalam sejarah musik Amerika Serikat yang akhirnya mempengaruhi dunia. Meski banyak hal saya kurang setuju dengan Ray Charles, satu poin yang dapat saya pelajari bahwa minoritas masih memiliki hak untuk memperjuangkan hak hidup yang diberikan Allah sebagai Sang Pencipta dan manusia (termasuk minoritas) sebagai ciptaan. Di dalam Alkitab, kisah Raja Saul ditolak oleh Allah karena kejahatan hatinya, Samuel menemui Isai (ayah Daud) dan Samuel mau mengurapi anak-anak Isai menjadi raja atas Israel. Namun Allah mengatakan “
But God told Samuel, “Don’t judge by his appearance or height, for I have rejected him. The Lord doesn’t see things the way you see them. People judge by outward appearance, but the Lord looks at the heart” (1 Samuel 16:7). Well, mungkin saudara dan saya adalah kaum minoritas tetapi jika hati kita sungguh-sungguh mau memuliakan Tuhan, Tuhan mau pakai kita yang “minor” ini.

2. Ray Charles hidup di dalam “guilty feeling”. Betapa tidak, Ray selalu terbayang masa lalunya, dimana adiknya, George meninggal dunia akibat masuk ke dalam ember panas. Ia merasa tidak berguna karena ia kurang sigap menolong George alias ia diam tanpa ekspresi melihat tragedi tersebut. Inilah suffering dan pain yang menghantui Ray seumur hidupnya. Menurut saya, semua manusia telah memiliki “guilty feeling dasar” yang juga menghantui hidup manusia yaitu dosa. Ketika mereka melakukan kejahatan ataupun perbuatan yang bertentangan dengan moralitas maka mereka pasti menemukan “guilty feeling” tersebut dan mereka seharusnya jujur terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka seharusnya mengakui dosa mereka dan kembali kepada jalan yang benar di hadapan Sang Pencipta. Celakanya, manusia cenderung menipu dirinya sendiri sehingga mereka malah menimbun dosa-dosanya dan melakukan “revenge” terhadap setiap suffering dan pain mereka dengan melakukan aksi pembalasan kepada “others”. Ray mencari solusi bukan kepada Tuhan, ia malah mencari solusi kepada cocaine, seks maupun kenikmatan yang ia dapat nikmati di dalam kebutaanya. Akhirnya, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada Ray untuk kembali kepada Tuhan melalui nasihat mamanya.

2. Ray Charles adalah golongan tuna netra. Pada mulanya ia lahir di dalam keadaan sehat, sampai pada umur belasan tahun, matanya semakin rabun sampai akhirya ia buta sama sekali sehingga ia tidak bisa melihat secara penglihatannya, tetapi ia mengatakan bahwa aku melihat dengan pendengarannya. Akhirnya, seorang cacat masih dapat “enjoying his life” dalam kecacatannya sampai akhirnya ia berhasil di dalam sejarahnya. Dalam hal ini, orang cacat tidak selalu menyusahkan orang lain, justru mungkin orang cacat malah memberikan teladan hidup yang seharusnya menjadi contoh hidup dalam komunitas manusia dewasa ini. Misalnya, Almarhum Gus Dur, seorang cendekiawan, haji, guru muslim yang memiliki keterbatasan dalam penglihatannya tapi hatinya untuk bangsa Indonesia sangat terlihat jelas. Gus Dur paling benci dengan orang munafik yang berada di dalam jajaran pemerintahan seperti anggota DPR, MPR yang dianggapnya sebagai “taman kanak-kanak”. Secara penampilan sehat tetapi banyak orang yang hatinya kekanak-kanakan bahkan kotor. Ray Charles, meskipun cacatpun, ia jatuh ke dalam dosa. Sejak kekayaan menimbuni hidupnya, ia menjadi “the junkies” dan “cheating husband” yang mencoreng teladan keluarga kristen kulit hitam di Amerika Serikat. Ray suka bermain perempuan, money oriented, power controled, coccaine sebagai pemicu semangat. Inilah contoh moralitas manusia yang telah jatuh ke dalam dosa (gak peduli ia cacat atau sehat) karena melanggar hukum Taurat dan melanggar ketentuan Allah sendiri. Oleh karena itu, Ray Charles teringat kata-katanya ibunya tentang Tuhan Yesus bahwa Yesus lebih bermakna dari apapun. Puji Tuhan! Ray akhirnya bertobat dan memorynya membawa dia untuk melihat Yesus Kristus begitu berharga di dalam hidup manusia karena inkarnasi – jawaban dari hidup di dalam moralitas yang dikuduskan oleh Allah. Ray bertobat dan setiap memorinya diisi Anak Domba Allah, Ia mengisi hidup orang percaya dan mereka dapat menyaksikan bagaimana Allah bekerja di dalam hidup mereka tanpa melakukan sebuah penghujatan kepada Allah, tetapi sebagai disiplin rohani untuk menyerahkan diri untuk menyembah Allah. Haleluyah.

Hidup Ray memang tidaklah sederhana dan sempurna. Itulah cermin gambaran hidup saudara dan saya juga. Tetapi tema pertobatan dan pengampunan, itulah yang menjadi keindahan di dalam hidup Ray. Bagaimana dengan saudara dan saya? Menurut saya, Ray hanyalah salah satu dari kaum tuna netra yang bergumul dengan hidupnya. Fanny Crosby, penulis hymnes yang begitu “agung”, ia buta karena kesalahan diagnosa dari dokter. Meski demikian, karya-karyanya jauh melampaui apa yang dilihat oleh manusia yaitu melihat Kristus sebagai satu-satunya sandaran kekal yang “real”. Biarlah berkat rohani ini menguatkan setiap kita untuk tetap melihat kepada keselamatan di dalam Kristus, apapun situasinya. Tuhan memberkati kita semua.


Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

No comments:

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...