Monday, February 08, 2010

His Love, My Love, Our Love

Bulan Februari ini kita merayakan 2 events sekaligus yaitu Chinese New Year dan Valentine Day. Kedua events ini kelihatannya totally berbeda karena keduanya memiliki perbedaan kultural antara Timur dan Barat. Tetapi keduanya memiliki dasar yang sama yaitu Love and Togetherness. Kasih dan Kebersamaan. Di dalam kasih ada kebersamaan. Di dalam kebersamaan ada kasih. Jika keduanya tidak ada di dalam keluarga maupun kehidupan manusia maka kelihatannya mereka bersatu di dalam satu bus tetapi mereka tidak saling sapa karena mereka tidak saling mengenal satu dengan lainnya. Oleh karena itu, apa yang dapat menjadi prinsip penting bagi kita semua hari ini dalam memperingati chinese new year dan valentine day?

Kolose 3:1-2 mengatakan bahwa “we are called to set our heart and minds in heavenly places”. Apa maksudnya? Saudara dipanggil untuk hidup konsetrik di dalam konsep kesucian yang Allah tegakkan. Mungkin saudara berkata “buat apa hidup terlalu ideal”. Justru saudara adalah orang yang paling jauh daripada ideal karena saudara telah terlebih dahulu meremehkan ideal sehingga saudara tidak memiliki komitmen maupun motivasi untuk melakukan ideal tersebut. Kegagalan saudara dan saya, mata dan pikiran kita seringkali hanya kita gunakan untuk melihat segala sesuatu yang “earthly things”.

Chinese new year menawarkan “GONG XI FAT CHOY” dengan ucapan Congratulations (good luck) dan prosperity (pengertian aslinya yaitu lot of cash). Semakin banyak yang, semakin beruntunglah kita. Inilah konsep chinese culture yang sebenarnya menggambarkan materialistic mindset manusia dewasa ini. Apakah hidup manusia hanya dinilai dengan keberuntungan dan dinilai dengan uang? Coba saudara pikirkan …. Apakah semuanya ini benar? Di saat kita menerima angpao merah dari orang-orang yang lebih tua daripada kita, kita mungkin bahagia setengah mati karena “panen” kita melimpah. Jika saudara cek, kenapa ada tradisi bagi angpao merah? Karena bagi angpao ada good luck. Pertanyaannya, apakah setiap kita percaya konsep hidup yang seperti ini? Sebagai orang reformed, kita percaya kepada pemeliharaan Tuhan, anugerah keselamatan Tuhan dan belas kasihan Tuhan jauh melebihi setiap konsep good luck yang ada di dalam chinese cultures. Kenapa demikian? Karena hanya di dalam pemeliharaan Tuhan, anugerah keselamatan Tuhan dan belas kasihan Tuhan saja, saya memperoleh kepastian hidup bahwa hidup saya ada pengharapan. Tanpa Tuhan, dimanakah kepastian pengharapan saya? Ketika kita merayakan Chinese New Year, justru kita seharusnya membawa pengharapan kepada keluarga kita dan menguatkan keluarga kita untuk mengutamakan Kristus dalam hidup mereka, bukan harta dunia. Ingat, Matius 16:26 ada tertulis “for what is man profited, if he shall gain the whole world and lose his soul”. Mungkin saudara berkata, Mengapa saya harus melakukan semuanya itu? Jawabannya ada pada satu kata yaitu Kasih.

Valentine Day merayakan tema besar “kasih” yang begitu didambakan oleh manusia. Sayangnya, banyak fakta-fakta tragis yang dialami oleh anak kecil, pasangan muda, keluarga maupun lansia sekalipun, dimana mereka melakukan “violent, angry, fight all the times” sampe “doing the evil things”. Tidak sedikit, mereka dikecewakan oleh pasangannya, keluarganya, saudaranya, komunitasnya, padahal dulunya mereka saling mengasihi. Pertanyaannya, what is wrong with it? Seorang guru bela diri di Amerika Serikat mengatakan “the reason why people are violent, angry and want to fight all the time is because they lack love and affection from another person who they loved”. Kenapa bisa terjadi demikian? Karena mereka tidak memiliki patokan di dalam love and affection mereka. Mereka hanya menilai love dan affection menurut interpretasi emosi mereka sehingga semua aplikasi cinta kasih merekapun hanyalah menjadi reaksi atas interpretasi mereka masing-masing yang tidak mewakili patokan cinta kasih yang sebenarnya. Tidak heran, orang psikologi menganggap love hanyalah feeling or emotions with strong sense of lust, attraction, affection” sehingga love hanya dinilai dengan emosi. Jacques Derrida, Filsuf Postmodernisme asal Aljazair mengungkapkan bahwa love harus dibedakan antara “the who” with absolute singularity dengan “the what” with specific qualities of the beloved. Apa maksudnya? Pada saat kita mengatakan kata cinta kepada pasangan kita, mengapa kita mencintai dia? Seringkali kita melakukan seduction dalam mengasihi pasangan kita karena “specific qualities” yang ada di dalam diri pasangan kita. I love you because you’re beautiful, you’re charming, you’re sexy, etc. Mungkin terlalu sedikit (atau mungkin tak seorangpun) yang mengatakan I love you because you are you, tanpa mempedulikan “spesific qualities” yang ada pada dirinya. Ini konsep Alkitabiah yang dipinjam oleh Derrida (atau mungkin dirampasnya).

Di dalam Kekristenan, Kasih berasal dari Allah. Kasih Allah adalah kasih yang tidak bersyarat, tidak mementingkan diri sendiri, membangun orang lain dan mengasihi others. Inilah kasih Agape. Bukankah ini konsep kasih yang ideal bagi manusia? Yup. Ini kasih ideal yang harus dijalani oleh manusia, meskipun cinta kasih Tuhan berbeda kualitas dengan cinta kasih manusia, akan tetapi justru inilah disiplin rohani bagi kita untuk mengutamakan Tuhan di dalam kehidupan kita, bukan my will will be done tetapi Thy will be done di dalam cinta kasih kita (eros). Misalnya, soal jodoh. Kembali kepada cinta kasih Tuhan dan biarlah kehendak Tuhan yang selalu menjadi patokan kita bersama untuk menemukan panggilan hidup kita untuk menemukan jodoh atau hidup selibat untuk kemuliaan Tuhan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana saya dapat menerapkan Thy will be done? Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, itulah brotherly love (philia). Bertemanlah dengan others dan berdoalah kepada Tuhan untuk kehendak-Nya jadi dalam hidupmu. Melalui Chinese New Year 2010 ini, Ketahuilah bahwa Allah adalah Kasih (Agape), biarlah setiap kita mengutamakan Allah dalam cinta kasih kita (eros) untuk mengasihi keluarga dan saudara-saudara kita agar mereka dapat mencicipi kasih Tuhan yang menyelamatkan dan bersama-sama belajar mengutamakan Allah melalui hati, pikiran dan tingkah laku kita sebagai anak Tuhan yang mengasihi Tuhan (filia/storge). Terus berjuang di dalam Kasih dan Kebenaran-Nya. Happy Chinese New Year and Happy Valentine Day.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

About Ray

Ray Charles, seorang tuna netra dalam sejarah musik blues yang membuat “geger” blantika industri musik di Amerika Serikat yang sedang bergumul dengan rasisme antara kulit hitam dan kulit putih. Tahun 1948, Ray Charles Robinson menjadi artis terpopuler dengan sentuhan irama blues yang unik dimasanya. Pro dan kontra banyak bermunculan baik memaki Ray dengan mixed style gospel dengan blues maupun memuji Ray karena ide gilanya itu. Pemuja musik jazz ala Nat King Cole dan Charles Brown yang akhirnya melakukan mixed R&B dengan gospel music membuatnya tenar melalui rock and roll-nya. Melalui film Ray (2004), pemeran utama dimainkan oleh Jamie Foxx, saya berusaha membaca diri Ray yang dapat menjadi pelajaran moral bagi saya sebagai orang kristen (in my opinion, of course).

1. Ray Charles adalah golongan second class (waktu itu). Saat itu, kelompok negro dipandang sebagai second class, sedangkan kelompok kulit putih adalah kelompok yang dipandang lebih “high class”. Oleh karena itu, pergumulan rasisme pernah di alami di Amerika Serikat, juga dialami oleh Ray. Kondisi rasisme yang pernah terjadi di Amerika Serikat dimasa silam juga dapat kita lihat di film “The Great Debate” dari Denzel Washington maupun “The Cinderella Man” dari Russell Crowe. Meski demikian, kelompok minoritas dapat memberikan sumbangsih di dalam sejarah musik Amerika Serikat yang akhirnya mempengaruhi dunia. Meski banyak hal saya kurang setuju dengan Ray Charles, satu poin yang dapat saya pelajari bahwa minoritas masih memiliki hak untuk memperjuangkan hak hidup yang diberikan Allah sebagai Sang Pencipta dan manusia (termasuk minoritas) sebagai ciptaan. Di dalam Alkitab, kisah Raja Saul ditolak oleh Allah karena kejahatan hatinya, Samuel menemui Isai (ayah Daud) dan Samuel mau mengurapi anak-anak Isai menjadi raja atas Israel. Namun Allah mengatakan “
But God told Samuel, “Don’t judge by his appearance or height, for I have rejected him. The Lord doesn’t see things the way you see them. People judge by outward appearance, but the Lord looks at the heart” (1 Samuel 16:7). Well, mungkin saudara dan saya adalah kaum minoritas tetapi jika hati kita sungguh-sungguh mau memuliakan Tuhan, Tuhan mau pakai kita yang “minor” ini.

2. Ray Charles hidup di dalam “guilty feeling”. Betapa tidak, Ray selalu terbayang masa lalunya, dimana adiknya, George meninggal dunia akibat masuk ke dalam ember panas. Ia merasa tidak berguna karena ia kurang sigap menolong George alias ia diam tanpa ekspresi melihat tragedi tersebut. Inilah suffering dan pain yang menghantui Ray seumur hidupnya. Menurut saya, semua manusia telah memiliki “guilty feeling dasar” yang juga menghantui hidup manusia yaitu dosa. Ketika mereka melakukan kejahatan ataupun perbuatan yang bertentangan dengan moralitas maka mereka pasti menemukan “guilty feeling” tersebut dan mereka seharusnya jujur terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka seharusnya mengakui dosa mereka dan kembali kepada jalan yang benar di hadapan Sang Pencipta. Celakanya, manusia cenderung menipu dirinya sendiri sehingga mereka malah menimbun dosa-dosanya dan melakukan “revenge” terhadap setiap suffering dan pain mereka dengan melakukan aksi pembalasan kepada “others”. Ray mencari solusi bukan kepada Tuhan, ia malah mencari solusi kepada cocaine, seks maupun kenikmatan yang ia dapat nikmati di dalam kebutaanya. Akhirnya, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada Ray untuk kembali kepada Tuhan melalui nasihat mamanya.

2. Ray Charles adalah golongan tuna netra. Pada mulanya ia lahir di dalam keadaan sehat, sampai pada umur belasan tahun, matanya semakin rabun sampai akhirya ia buta sama sekali sehingga ia tidak bisa melihat secara penglihatannya, tetapi ia mengatakan bahwa aku melihat dengan pendengarannya. Akhirnya, seorang cacat masih dapat “enjoying his life” dalam kecacatannya sampai akhirnya ia berhasil di dalam sejarahnya. Dalam hal ini, orang cacat tidak selalu menyusahkan orang lain, justru mungkin orang cacat malah memberikan teladan hidup yang seharusnya menjadi contoh hidup dalam komunitas manusia dewasa ini. Misalnya, Almarhum Gus Dur, seorang cendekiawan, haji, guru muslim yang memiliki keterbatasan dalam penglihatannya tapi hatinya untuk bangsa Indonesia sangat terlihat jelas. Gus Dur paling benci dengan orang munafik yang berada di dalam jajaran pemerintahan seperti anggota DPR, MPR yang dianggapnya sebagai “taman kanak-kanak”. Secara penampilan sehat tetapi banyak orang yang hatinya kekanak-kanakan bahkan kotor. Ray Charles, meskipun cacatpun, ia jatuh ke dalam dosa. Sejak kekayaan menimbuni hidupnya, ia menjadi “the junkies” dan “cheating husband” yang mencoreng teladan keluarga kristen kulit hitam di Amerika Serikat. Ray suka bermain perempuan, money oriented, power controled, coccaine sebagai pemicu semangat. Inilah contoh moralitas manusia yang telah jatuh ke dalam dosa (gak peduli ia cacat atau sehat) karena melanggar hukum Taurat dan melanggar ketentuan Allah sendiri. Oleh karena itu, Ray Charles teringat kata-katanya ibunya tentang Tuhan Yesus bahwa Yesus lebih bermakna dari apapun. Puji Tuhan! Ray akhirnya bertobat dan memorynya membawa dia untuk melihat Yesus Kristus begitu berharga di dalam hidup manusia karena inkarnasi – jawaban dari hidup di dalam moralitas yang dikuduskan oleh Allah. Ray bertobat dan setiap memorinya diisi Anak Domba Allah, Ia mengisi hidup orang percaya dan mereka dapat menyaksikan bagaimana Allah bekerja di dalam hidup mereka tanpa melakukan sebuah penghujatan kepada Allah, tetapi sebagai disiplin rohani untuk menyerahkan diri untuk menyembah Allah. Haleluyah.

Hidup Ray memang tidaklah sederhana dan sempurna. Itulah cermin gambaran hidup saudara dan saya juga. Tetapi tema pertobatan dan pengampunan, itulah yang menjadi keindahan di dalam hidup Ray. Bagaimana dengan saudara dan saya? Menurut saya, Ray hanyalah salah satu dari kaum tuna netra yang bergumul dengan hidupnya. Fanny Crosby, penulis hymnes yang begitu “agung”, ia buta karena kesalahan diagnosa dari dokter. Meski demikian, karya-karyanya jauh melampaui apa yang dilihat oleh manusia yaitu melihat Kristus sebagai satu-satunya sandaran kekal yang “real”. Biarlah berkat rohani ini menguatkan setiap kita untuk tetap melihat kepada keselamatan di dalam Kristus, apapun situasinya. Tuhan memberkati kita semua.


Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...