Friday, October 29, 2010

Menemukan Kembali Nilai Reformasi

Martin Luther (1483-1546), Seorang biarawan dari ordo Agustinian yang sebagian besar hidupnya menjadi Professor Teologi di Wittenberg. Ia belajar teologi, bukan untuk mengejar gelar maupun kedudukan akademik. Ia belajar teologi karena Allah memanggil Luther dan Luther ditangkap oleh Allah untuk mengugah motivasi Luther untuk mencari Kerajaan Allah dan Kebenaran Allah.

Luther memiliki cara pandang yang tajam melihat akar kerusakan gereja adalah doktrin yang tidak sesuai dengan Alkitab, doktrin yang tidak memiliki otoritas sejati. Luther menyadari kerusakan gereja hanya dapat diperbaiki jikalau doktrin dikembalikan kepada Alkitab. Oleh karena itu, Gerakan Reformasi memiliki visi yang agung dan mulia yaitu mengembalikan kekristenan kepada otoritas Alkitab, dengan iman kepercayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Wahyu Allah dan mempertahankan kebenaran serta pelaksanaan kebenaran, bukan dasar otoritas gereja (magisterium). Luther menyadari bahwa otoritas hanya terdapat pada Alkitab. Problemnya, diakui oleh seorang pendeta kondang dari Amerika Serikat, Jim Bakker. Ia mengakuinya sendiri, boro2 baca Alkitab, membaca konteksnya saja tidak mau dia lakukan.Menjadi hamba Tuhan hanya dipahami sebagai sebuah “profesi” seperti layaknya “sales” dan mengutip serta membangkitkan semangat. Hal yang lebih penting adalah hati yang tulus mengasihi Tuhan lebih besar daripada dirinya sendiri.
Dari Alkitab kita beroleh pengharapan. Pengharapan berdasarkan Alkitab kita beroleh pengharapan iman. Jikalau bukan Allah yang mewahyukan Alkitab maka tidak ada Firman Tuhan di dalam dunia. Jikalau tidak ada Firman Tuhan maka kita akan kehilangan otoritas yang sejati. Itulah sebabnya kita harus kembali kepada otoritas Alkitab. Hanya dengan tolak ukur pengajaran Alkitab, kita dapat menilai segala sesuatu. Dalam hal ini semangat “Back to the Bible” (Sola Scriptura) yang seharusnya mendidik gereja untuk menaklukan diri di hadapan Firman Tuhan, bukan gereja (magisterium) yang menguasai Alkitab.

Tercantum dalam Pengakuan Iman Augsburg (Art. IV, 1530), Manusia tidak dapat dibenarkan dalam pandangan Allah melalui kekuatan, jasa-jasa atau perbuatan-perbuatan mereka sendiri, sebaliknya secara cuma-cuma mereka dibenarkan karena Kristus (Solus Christus) hanya melalui iman (Sola Fide), pada waktu mereka percaya bahwa mereka diterima dalam anugerah saja (Sola Gracia) dan dosa-dosa mereka diampuni karena Kristus yang melalui kematian-Nya sendiri menyelesaikan dosa-dosa kita(Solus Christus). Iman ini diperhitungkan Allah sebagai kebenaran bagi kemuliaan-Nya (Solideo Gloria), (Roma 3 dan 4). Jadi, Iman bukanlah hasil kontribusi manusia, melainkan bagian dari anugerah keselamatan yang Allah berikan (Sola Gracia), bukan pemberian manusia berdosa kepada Allah (Efesus 2:8-9).
Konklusi bahwa segala sesuatu harus ditinjau kembali dalam terang Firman Tuhan Allah yang terdapat di dalam Alkitab. Memang, ada dilematis bagaimana manusia dapat menjalani perjalanan hidup antara hidup sementara dengan hidup kekal. Seakan tidak ada titik yang dapat menyeimbangkan kedua kondisi hidup tersebut, satu-satunya titik temu hanya dapat digenapkan melalui inkarnasi Kristus, yaitu Firman yang sudah menjadi daging. Jadi kesulitan hidup akan tetap ada maka justru kita harus konsisten menjalani sebuah kehidupan yang selaras dengan apa yang Tuhan mau. Itulah konsistensi dari semangat Reformasi yaitu berani jalani tantangan hidup dengan prinsip kekekalan yang Tuhan kehendaki, bukan manusia. Luther menjalani tantangan hidup dengan prinsip “back to the Bible”, mengadakan pembaharuan dan protes menentang indulgensia dan penyalahgunaan lainnya yang tercantum dalam 95 tesis yang dipakukan di pintu gereja Wittenberg.

Seharusnya kita menemukan kembali semangat reformasi, nilai-nilai reformasi dan berani melakukan sebuah “action” dalam menjalankan Mandat Injil (memberitakan Injil yang memancarkan kemuliaan Allah, kesucian Allah, keadilan Allah) , Mandat Budaya (mengelola, mengatur dan membudidayakan seluruh alam ciptaan Allah), Mandat Keselamatan (menerima, mengalami, menikmati serta memberitakan anugerah dan kebenaran Allah) dan Mandat Pelayanan (menjalankan kehendak Tuhan). Sayang sekali, apabila orang kristen sendiri semakin lemah dan takabur sehingga jati diri kekristenan menjadi tidak jelas, alias tiada parameter yang jelas untuk membedakan antara yang benar dan salah, jujur dan bohong, pejuang dan pecundang dan seterusnya. . Yg merusak dan menjegal adalah oknum-oknum yang punya keinginan untuk membajak Kerajaan Allah dan Kebenaran untuk diri sendiri dengan perilaku rohaniawan, jubah agama, sakramen, religiusitas yang palsu.

Sekali lagi, seharusnya, Nilai-nilai Reformasi menjadi parameter orang kristen untuk mengerjakan mandat-mandat yang dipercayakan Allah. Dalam hal ini, sangat diperlukan kesatuan visi dengan kesiapan hati untuk berkorban dan bekerja keras dalam penyertaan Roh Kudus untuk mewujudkan dengan komitmen dan konsistensi sebuah “christian living” sebagai Anak-anak Tuhan yang setia melayani Tuhan Allah di dalam dunia sampai kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Renungkan kembali nilai-nilai Reformasi dalam benak kita semua dan berdoalah memohon Roh Kudus membakar hati kita untuk belajar memberikan yang terbaik dalam menjalankan mandat surgawi yang Tuhan telah anugerahkan bagi anak-anak-Nya. Selamat memperingati Hari Reformasi!

Dalam Kasih-Nya
Ev. Daniel Santoso
Beijing, China

On Halloween

Hallowen, sebuah event kultural yang berasal dari "ancient celtic" di Irlandia, Inggris dan Perancis. Biasanya mereka merayakan hallowen pada tanggal 1 November sebagai "the end of summer and the harvest of season". Tgl 31 Oktober mereka merayakan "samhain". Kebudayaan "trick and treating", sebuah kebiasaan dari abad 9 untuk melakukan "souling" pada tgl 2 November. Biasanya kebiasaan ini dipergunakan untuk membantu orang miskin, tetapi justru now secara sekuler, "trick and treating" dianggap sebagai "just for fun" saja.

Bagaimana orang kristen menanggapi Hallowen? Father Gabriele Amorth, pastor Vatican yang berkecimpung dalam pengusiran setan (exorcism) di Roma mengatakan bahwa " Kalo anak-anak Inggris dan American menyukai pakaian iblis dan penyihir hanya dalam sehari dalam setahun, itu bukanlah masalah. toh itu hanyalah sebuah permainan, tidak ada maksud yang lain. Saya tidak setuju. Secara directly, Hallowen adalah paganisme yang mempromosikan satanisme, penyembahan berhala, mistik hitam, okultisme (Ulangan 18:9-13) dan orang kristen dipanggil bukan untuk dipengaruhi oleh hallowen tapi orang kristen harus memberikan pengertian yang mendidik generasi muda utk tidak dipermainkan oleh setan, tetapi kembali ke jalan Tuhan (Efesus 5:11. Jadi tidak ada common ground dalam Hallowen. Injil harus lebih diberitakan oleh jemaat dan hamba Tuhan dengan hati yang takut akan Tuhan, mengasihi kebenaran dan memperjuangkan kebenaran Tuhan di dalam terang Injil Tuhan, bukan kegelapan.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan, ROC

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...