Wednesday, January 30, 2008

Shalom and Originality

Shalom seringkali hanya dimengerti di dalam praktika masyarakat sebagai salam perdamaian yang “ latah “ di mulut para munafikers berjubah religious bagai ‘ howdy greeting ‘ yang diucapkan fasih oleh serdadu amerika di pintu Gaza, Israel. Shalom sejati telah dimasukin “ panti jompo informasi “ dan manusia melakukan “ double reading “ untuk menciptakan definisi yang kontekstual sesuai zamannya. Kenapa manusia berani melakukannya ?

Sebagai Orang Reformed yang mewarisi tradisi Agustinian dan Calvinis, saya mempercayai bahwa manusia termasuk kita semua dikandung dan dilahirkan di dalam dosa, entah karena kita secara benih sudah ada di dalam Adam atau karena Adam ditunjuk oleh Allah sebagai kepala federal kita – kita, manusia melibatkan diri di dalam pelanggaran bahkan sebelum kita dilahirkan. Cornelius Platinga, Jr menegaskan bahwa kita bukan hanya pendosa karena kita berdosa tetapi kita juga berdosa karena kita adalah pendosa. Jadi, sejalan dengan pemikiran Paul Ricouer mengenai original sin, kita semua terlibat dalam perbuatan dosa nenek moyang kita dimana kita turut menemukan dosa, menciptakan dosa, mengesahkan dan memperluas territorial dosa. Maka dosa merusak pengertian shalom sampai definisi “ shalom “ terkontaminasi dengan generalisasi tanpa pikir panjang menjadi sekadar “ fenomenal peace “ .

Come on, man ! Shalom tidak dapat disamakan kualitasnya dengan definisi damai produksi manusia berdosa, jangan samakan rolex “ made in geneve “ dengan rolex “ made in shen zen “. Keduanya sama-sama rolex tetapi kualitas dan akurasi originalitas jelas berbeda karena rolex geneve itu original, sedangkan rolex shenzen hanyalah replica yang gak mungkin mewakili originalnya. Begitu juga konsep shalom !

Shalom memiliki muatan makna yang jauh melampaui makna kedamaian fenomenal relasi horizontal sesama manusia dalam dunia yaitu “ Messianic Meaning “. Jika kita kembali membaca dalam Kitab Yesaya 9:6, shalom dihubungkan sangat erat dengan juruselamat yang disebut “ The Prince of Peace “. David Silver mempertegas hubungan shalom dengan juruselamat dengan sebuah kalimat “ oleh karena itu, jika kita kembali kepada esensi shalom, kita bukan hanya meneriakkan kedamaian tetapi “ all the above meanings of the word over that person ( prince of peace ) “ yang mengarah kepada Yesus Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup, tiada seorangpun sampai kepada Bapa kecuali melalui Aku ( Yohanes 14:6 ) dan tiada nama lain yang diberikan kepada manusia yang oleh-Nya kita dapat diselamatkan ( Kisah Para Rasul 4:12 ). terlalu fanatik ?Saya baru membaca review William Hughes mengenai buku Cecil Bottwell's berjudul " The Prince of War Exposed ; The Dark Side of Rev. Billy Graham "yang menawarkan sisi gelap Pdt. Billy Graham yang dicurigai mengaktifkan mesin propaganda kaum Injili dalam usaha melakukan " re-brand " terhadap United States of America ( USA ) menjadi " Christian Nation, armies as the rightful instruments of a christian crusades and empire ". well, memang Bottwell memiliki penjelasan-penjelasan data historis yang cukup membuka peluang kepada pembaca tuk meneguhkan hati ambil keputusan setuju kepada pendapat subyektifnya tetapi walau bagaimanapun, kita harus tetap melihat bahwa setiap penulisan Bottwell hanyalah analisa kemungkinan yang belum tentu benar adanya. Menurut saudara, apakah dengan USA menjadi " Christian empire " maka " Shalom " akan terjadi ? Belum tentu. Jangan-jangan kalopun Billy Graham berhasil melakukan " rebrand " memang " fenomenal shalom " terjadi tetapi justru kemunafikan semakin tinggi sehingga timbul penipuan, kejahatan yang akhirnya menyebabkan kematian. Atau sebaliknya Justru saat USA tetap " secular ", tantangan pluralisme dan globalisasi semakin mencekam tetapi justru mereka menikmati " shalom " yang sesungguhnya di dalam Yesus Kristus. Pilih mana ?

Sayang sekali, manusia lebih menyukai “ shalom “ dalam interpretasi mereka sendiri untuk berkompromi di dalam mengabaikan kontradiksi dan mereduksi definisi secara sistematis sehingga kontroversi diredupkan dengan “ pengorbanan diri kepada Baal “. Apa-apaan ini ! Justru kita harus kembali kepada “ essence “ interpretasi yang sesungguhnya yaitu “ sola scriptura “. Jika kita memahami “ shalom “ yang “ sola scriptura “ maka tiada sesuatu yang sanggup goncangkan pijakan kita karena Tuhan bertahta atas kita dan di dalam-Nya kita menikmati “ shalom “ yang sejati !

Shalom in His Glory
Ev. Daniel Santoso
Beijing, People of Rebuplic of China

Sejarah dan Tahun Baru

Jutaan jiwa bergembira dalam Old and New 2007, tertawa lepas terekspresi bagai burung keluar dari sangkarnya sambil berteriak histeris menghitung detik-detik berakhirnya tahun 2007 dan menyambut hadirnya awal tahun 2008. Raut wajah mereka jelas gembira tetapi what’s next ? mereka harus kembali bekerja keras sampai banting tulang untuk kelangsungan hidup mereka. Dari pandangan mataku sendiri, kulihat seorang tua harus rela menahan suhu -7 derajat celcius untuk tetap mengayuhkan sepeda karatannya menuju ke tempat kerjanya. Kulihat seorang nenek wajah penuh keriput terdiam meratapi diri saat berjualan sayuran seadanya karena gagal panen akibat musim dingin. Inikah sejarah manusia sepanjang zaman ? bukankah sejarah seperti ini menyedihkan sekali ?

Tidak heran, banyak orang religius meninggalkan iman kepercayaan mereka karena tiada sentuhan Ilahi yang mereka dapat rekam dalam “ spiritual journey “ masing-masing. Contoh : Charles Templeton. Seorang penginjil kelahiran Kanada yang merintis sebuah gereja di Toronto dimulai dari 8 orang sampai ribuan orang akhirnya meninggalkan iman kristianinya karena foto seorang ibu kulit hitam yang sedang mengendong mayat anaknya dalam keadaan menangis dan matanya menengadah ke atas berharap “ belas kasihan “ Tuhan. Ia menuliskan proklamasi pemurtadannya di atas sebuah buku " Farewell to God ; my reasons to rejecting christian faith " bahwa jika ia meneruskan dirinya sebagai orang kristen maka ia akan hidup di dalam kemunafikan karena menurutnya tiada sentuhan ilahi dalam hidup manusia, buktinya manusia menderita, neraka tempat manusia dibuang, doa manusia tidak didengar-Nya. inikah hidup manusia yang sesungguhnya, buddy ?

Budha berkata “ life is suffering “. Manusia lahir dari bayi akan bertumbuh hingga menjadi tua, ada sakit penyakit yang akhirnya membawa manusia kepada kematian. Maka tidak sedikit manusia menilai hidupnya hanya dari perspektif humanitas sehingga kesimpulan yang disadur maupun definisi yang direduksi hanya sebatas “ pokoknya realitas “.

Dimanakah Tuhan, kawanku ? seringkali kita lebih suka membangun “ our tower arguments “ untuk menghakimi Tuhan “ guilty “ di atas sejarah manusia sehingga secara tidak langsung, kita memerankan peran sebagai tuhan di hadapan Tuhan dengan “ tower arguments “ yang bejibun keluar dari kesedihan manusia, padahal siapakah yang memulai kesedihan, kejahatan, penderitaan ? Manusia sendiri. Sejak manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, manusia diberikan free will untuk menerima maupun menolak, akibat hasutan iblis melalui ular, manusia jatuh ke dalam dosa. Disini dosa bukan hanya konsep moral saja tetapi konsep religious bahwa selain menodai hubungan horizontal, juga melawan hubungan vertical dengan Tuhan karena melanggar covenant. Sebagai contoh, penyembahan patung anak lembu emas ( Keluaran 32 ) dianggap sebagai pengkhianatan karena hal ini melanggar sumpah kovenan dalam Keluaran 24:1-8. Mungkin kita berargumen, Apakah Tuhan dapat merubah sejarah ? Tentu saja, tetapi bukan berarti kalo Tuhan tidak merubah sejarah manusia maupun free will manusia berarti Ia bukan Tuhan, itu pernyataan yang kekanak-kanakan ( childish ). Kesalahan sebagian para akademis menilai definisi sejarah tanpa melibatkan “ God’s existence as Creator “ alias “ deleting God from history spheres “ padahal mereka adalah ciptaan Tuhan ( created by God ) dan Tuhan berada bersama-sama manusia di dalam sejarah ( God is immanence ). Jika sejarah manusia memiliki keterlibatan dengan Allah maka pertanyaannya mengapa sejarah manusia penuh dengan penderitaan ?

Dalam Injil Yohanes 9, ketika Yesus menyembuhkan seorang buta, murid-muridnya bertanya kepada-Nya, “ Rabi, siapakah yang berbuat dosa ? orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta ? “. Yesus berkata “ bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia “. R.C Sproul dalam bukunya “ A Reason To Believe “ memberikan “ explanation “ bahwa ada kemungkinan hubungan penderitaan manusia dengan murka Allah yang memberikan pengajaran tetapi setiap manusia menderita, manusia harus bertanya “ apa yang ada di dalam pikiran Allah ? “. Kitab suci mengajarkan kita juga bahwa Allah memang menghajar orang-orang yang dikasihi-Nya dan bagian dari proses tersebut adalah merasakan rasa sakit dan penderitaan. Kenapa demikian ? Karena suatu dosa adalah aksi ; pikiran, keinginan, emosi, perkataan atau perbuatan apapun – atau kelalaian untuk melakukan tindakan, yang tidak berkenan kepada Allah dan dosa merupakan celaan dan penghinaan manusia secara pribadi kepada pribadi Allah. Tetapi R.C Sproul juga menemukan sebuah kondisi bagaimana penderitaan manusia sekaligus menjadi kesempatan manusia untuk mengevaluasi hubungannya dengan Tuhan Allah. Jadi, Semua penderitaan bukan kebetulan dan berada di dalam jangkauan kedaulatan Ilahi Allah tetapi ada hal-hal mengenai penderitaan yang Allah tidak berkenan mengungkapkannya alias misteri. Oleh karena itu justru kita belajar untuk melihat bahwa kita justru dipanggil untuk melihat optimistic dari sebuah penderitaan karena mungkin kita dipakai oleh Tuhan menjadi instrument Tuhan membawa manusia yang menderita keluar dari kesusahan diri mereka. Oleh karena itu kita jangan egois alias mencintai diri tetapi belajar memiliki kepedulian untuk memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada orang yang tidak memilikinya, menyembuhkan orang yang sakit, memperhatikan yatim piatu, jompo maupun janda.

Disini kita harus belajar mengakui bahwa penderitaan hanya bersifat sementara ( not forever happens ) dan itu sepenuhnya mendapatkan kelepasan satu-satunya hanya di tangan Allah saja. So, jangan meratapi penderitaan hidup terus menerus tetapi justru kita dipanggil untuk berani menghadapi penderitaan. Yesus berkata “ Kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia – Yohanes 16:33 “. Inilah konsep “ shalom “ dari Nicholas Wolterstroff dalam bukunya “ Until Justice and Peace Embrace “ yaitu jalinan kuat antara Allah, manusia dan ciptaan-Nya bagaimana segala sesuatu seharusnya terjadi dan kiranya di tahun 2008 kita belajar menjadi instrument shalom yang tulus dan penuh sukacita bertahan melewati perjuangan, kegagalan dan pertumbuhan untuk mencari kerajaan Allah terlebih dahulu ( Matius 6:33 ) dan untuk berusaha keras meningkatkan shalom di dunia ini. Tuhan memberkati kita semuanya …

Selamat Tahun Baru
Ev. Daniel Santoso
Beijing, People of Rebuplic of China

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...