Friday, February 05, 2010

Reflection on Joni's Promise

Janji Joni, sebuah film komedi populer Indonesia (2005) yang memberikan perenungan moralitas terhadap tema penting dalam kehidupan manusia yaitu:
1. Vocation. Joni mempercayai panggilan hidupnya sebagai pengantar film yang dapat diandalkan. Meskipun gaji yang ia peroleh tidak terlalu banyak, baginya itu cukup dan Joni “enjoy” dengan pekerjaannya tersebut. Hari ini, bukanlah banyak orang bekerja bukan untuk menjalani panggilan hidupnya tetapi banyak orang hanya mencari “pleasure” alias kenikmatan hidup. Kalaupun perlu, bekerja dengan cara yang paling harampun dilegalkan demi “pleasure”. Oleh karena itu, Tidak heran jika budaya korupsi merajalela dan bermain dalam persaingan hidup yang hanya dinilai dari kekayaan material belaka. Profesi Joni seringkali dianggap sebuah profesi “mboh cuan”, tetapi justru profesi inipun penting di dalam kebudayaan. Jika tidak ada pengantar film maka tidak mungkin film dapat diputar dan penonton dapat menonton film tersebut. Maka profesi ini penting. Contoh: Apa jadinya dunia jika tidak ada tukang sampah? Ya dunia hanyalah sampah. Banyak orang menghina tukang sampah sebagai pekerjaan yang “jorok”. Justru kita dapat melihat pekerjaan sebagai tukang sampah juga sebuah pekerjaan yang mulia. Pekerjaan yang kecil dan pekerjaan yang besar adalah panggilan hidup yang mulia, di saat kita semuanya kita lakukan “before God”.
2. Responsibility. Joni belajar menjalani sebuah tanggungjawab atas pekerjaan yang ia harus jalani yaitu ia tidak boleh terlambat dalam mengantarkan film tersebut. Oleh karena itu “speed” dan “trust” menjadi bagian yang Joni senantiasa pelajari di dalam benaknya sebagai pengantar film. Jika ia terlambat maka ia mengecewakan penonton. Di dalam film tersebut, Joni tidak pernah sekalipun terlambat. Joni memiliki “track record” yang “perfect” sampai nama Joni menjadi jaminan. Tetapi, Dikisahkan Joni terlambat beberapa menit dan ia menyesali semuanya. Padahal, banyak musibah dia alami, baik dari kehilangan motor saat menolong orang tua menyebrang jalan, kehilangan tas isi film waktu menolong seorang perempuan yang mau dijambret, membantu mantan preman yang menjadi sopir taxi “yellow cab” menemani istrinya di rumah sakit dan meemberi nama anak tersebut “DAMN”. Hahaha.
3. Courage. Joni berani menjalani setiap kesulitan demi kesulitan demi tuntasnya tanggungjawab dia sebagai pengantar film, ia rela capek, kerja keras dan semuanya itu bukan tuntutan dari “job description”, tetapi ini persoalan hati dan komitmen yang jelas. Joni terus berusaha mencari jalan, mengejar timing. Akhirnya, meskipun Joni terlambat beberapa menit dan recordnya “tercoreng”, Ia telah berusaha semaksimal mungkin. Luar biasa!
4. Goodness. Joni banyak melakukan hal yang baik, tapi ia malah “dikadalin” ama orang jahat. Demi menolong seorang buta, motornya hilang dicuri orang, demi menolong perempuan yang mau dijambret, tas isi rol filmpun lenyap dibawa kabur oleh perempuan yang ditolong Joni. Ia tabur kebaikan tapi malah menerima panen kejahatan dari orang lain. Ini fakta hidup bahwa orang baik adalah target para penipu. Toh, Joni tetap memperjuangkan kebaikan menjadi fokus yang tidak boleh hilang di dalam “vocabulary” hidupnya.

Film yang disutradari oleh Joko Anwar ini cukup mengesankan karena keberagaman karakter manusia menunjukkan bentuk masyarakat yang kompleks di dalam perbedaan dan persamaan. Inilah sebuah realita. Jika demikian, bagaimana dengan kehidupan kekristenan? Apa jadinya jika perspektif kekristenan berdiam diri? Justru Kekristenan harus memberikan penjelasan melampaui moralitas dan pesan motivator manusia tetapi bagaimana kekristenan membawa konsep Kebenaran menjadi tuan atas pesan moral di dalam film tersebut.
1. Yesus Kristus adalah satu-satunya teladan hidup manusia yang mampu membawa setiap kita untuk mengenali, menelaah, menjalani dan menghidupi perjuangan hidup meneladani-Nya. Kenapa harus Kristus? Karena Yesus Kristus adalah satu-satunya manusia yang dapat melakukan apa yang menjadi standar Allah. Ada perbedaan kualitatif sehingga fokus keteladanan di dalam Kristus jelas berbeda dengan fokus keteladanan di dalam diri manusia. Di dalam fokus keteladanan Kristus, kita diajarkan untuk melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan, sedangkan fokus keteladanan manusia hanyalah mengajarkan apa yang baik menurut masyarakat.
2. Ikut Yesus, ada tanggung jawabnya sebagai seorang “believer”. Banyak manusia melakukan segala sesuatu hanya didasarkan dengan “money” tetapi kita kurang peduli terhadap tanggungjawab kita di hadapan Tuhan sehingga kita menjalani kehidupan dan pekerjaan kita secara terpaksa dan kita tidak menikmati kehidupan tersebut. Justru kita harus menjalani hidup kita sesuai hati nurani yang suci dan menjalani kehidupan yang selalu diperbaharui menurut apa yang dikehendaki oleh Allah melalui keselarasan dengan Firman Tuhan. Tanggung jawab setiap kita bukan asal memperoleh gaji saja tetapi bagaimana setiap kita dapat memuliakan Tuhan melalui setiap kehidupan kita masing-masing.
3. Hidup kristen bukan berarti lepas daripada kesulitan seperti apa yang didengungkan oleh penganut teologi kemakmuran. Justru, kesulitan bukanlah sebuah subyek yang terpisahkan dalam kehidupan kristen, justru orang kristen hidup melampaui setiap kesulitan yang ada. Kalaupun belum dapat melewati kesulitan itu, justru kita harus belajar rendah hati dan menyadari bahwa hanya pertolongan dari Tuhan mampu memberikan pengertian bagi setiap kita untuk memahami berkat-berkat Tuhan dibalik setiap kesulitan tersebut dan bertumbuh dewasa di dalam Kristus.


Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Follow The Leader

Mao Tze Dong, seorang figur pemimpin karismatik yang paling berpengaruh dalam sejarah perjuangan terbentuknya “People Rebuplic of China”. Patung-patungnya berada di mana-mana. Bahkan beberapa patung Mao dijadikan obyek penyembahan oleh pendukung kepercayaan Mao dan Taoisme, khususnya memperingati hari kelahiran Mao sebagai sebuah penghormatan. Kenapa mereka melakukan semuanya itu? Salah satu alasan mereka adalah karena memori yang mereka miliki hanyalah memori mengenai Mao. Oleh karena itu, tidak sedikit mereka menganggap Mao sebagai tuhan, bukan sekadar pahlawan nasional. Di Hongkong, seorang penjual t-shirt ngefans dengan Mao sehingga ia mendesign kaos bergambar Mao dan menjualnya dengan harga yg tidak murah. Hebatnya, kaos tersebut laku keras bagai kacang goreng. Bahkan ketika dirinya ditanya oleh seorang jurnalis lokal, ia bangga mengatakan bahwa popularitas kaos Mao tidak kalah dengan Giorgio Armani. Mao memberikan banyak “lucky” kepada penjual tersebut. Well, Mao memang populer tetapi dia adalah tuhan?

Siapakah Mao Tze Dong? Professor Roderick Macfarquhar dari Harvard University mengatakan bahwa Mao hanyalah seorang manusia biasa yang di dalam hidupnya telah melakukan kesalahan fatal (big error) yaitu usaha meniadakan sejarah melalui revolusi kebudayaan (cultural revolution). Banyak karya-karya kebudayaan dari berbagai zaman dihancurkan atas perintah Mao Tze Dong sehingga kebudayaan China telah kehilangan banyak warisan-warisan kebudayaan yang “exist” dari abad ke abad. Menurut informasi dari pendeta senior saya, jika kita melihat museum di Tian An Men, Beijing maka kita hanyalah menikmati barang museum duplikat, sedangkan barang museum yang asli justru dapat kita nikmati di museum nasional di Taipei karena barang bersejarah saat itu dibawa keluar China oleh Kuo Min Tang. Inilah kerugian terbesar dari Revolusi Kebudayaan yang dipelopori oleh Mao Tze Dong. Meski demikian, toh nama besar Mao Tze Dong tetap menggema di seluruh pelosok Tiongkok, bahkan seluruh dunia sebagai pemimpin bangsa rakyat Tiongkok. Sebenarnya, apa standar pemimpin yang sebenarnya?

Di dalam Injil Matius 20:25-28, Seseorang yang pantas dinyatakan sebagai pemimpin adalah seseorang yang mengutamakan pelayanan (stewardship), pengorbanan dan kepentingan orang lain Kepemimpinan bukanlah kekuasaan. Kepemimpinan, justru dimulai dari pengorbanan dari atas turun ke bawah guna membawa orang lain kembali kepada standar maupun goal yang kembali kepada pimpinan. Hari ini banyak orang belajar kepemimpinan bukan mengikuti standar Alkitab., tapi standar humanis. Padahal di dalam kepemimpinan adalah “spiritual dimension” yaitu Amanat Allah yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah (Matius 25:14-30). Kita bukan dipanggil menjadi pemimpin yang populer seperti Donald Trump, Bill Gates, Barak Obama, Hillary Clinton, dll. Justru, kita harus menjadi seorang pemimpin yang mengenali, memahami dan menghidupi signikansi kepemimpinan yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kemuliaan-Nya, di dalam standar-Nya.

Dalam Kasih Kristus
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan

Crisis ... Glad or Gloom?

Krisis Moneter, sebuah problema global yang memberikan goncangan besar bagi manusia
di dunia dalam menanggapi hidup yang semakin “sulit” dan “mengerikan”. Bagaimana saudara dan saya menyingkapi krisis moneter? Tidak sedikit orang yang merasa terpukul oleh krisis moneter tersebut. Akan tetapi, ada survei global yang memberikan perbandingan 1 dari 4 orang merasa lega dengan krisis global ini karena mereka menyadari prioritas hidup mereka. Kesadaran prioritas hidup mereka dimulai dari kesulitan situasional yang memberikan dampak perubahan psikologis untuk “postponing” baik menikah, punya anak, pindah rumah, ganti pekerjaan maupun mengambil pendidikan yang lebih tinggi. Pertanyaan yang muncul adalah apa prioritas hidup manusia hari ini? Banyak orang menjawabnya dengan jawaban: memperoleh kebahagiaan. Demi kebahagiaan, mereka rela hidup sederhana, rela hidup susah.

Di kala krisis, banyak manusia menemukan kesulitan dalam hidupnya, baru mencari Tuhan. Oleh karena itu, tidak heran jika Sigmund Freud dan Karl Marx berteori bahwa Tuhan hanyalah produksi dari situasi yang tak berdaya ketika manusia kehilangan jalan kebenaran. Freud dan Marx mempercayai sebuah falsafah bahwa agama tidak beda dengan opium yang menghilangkan derita sementara manusia. Agama muncul dimulai dari rasa takut melihat realita hidup yang penuh kesulitan dan tantangan. Benarkah demikian?

John Calvin mengawali sebuah kehidupan agamawi kepada Tuhan dengan sebuah ketaatan terhadap Kitab suci sebagai aturan bagi kehidupan yang pasti memberikan sukacita dalam menjalaninya. Ketaatan dan sukacita adalah “one packet”. Jika kita mengatakan diri telah taat tetapi kita belum bersukacita maka kita masih belum taat kepada-Nya. Kedua, Ketaatan dan hidup kudus menurut kitab suci hanya dapat diperoleh di dalam karya Kristus. Tanpa karya Kristus, segala sesuatunya hanyalah bersifat lahiriah dan itu tidak cukup. Kehidupan spiritual bukan membuat kita takut kepada realita hidup yang penuh kesulitan dan tantangan, justru kehidupan spiritual bersama Kristus memberikan ketulusan hati dan kerelaan hati untuk menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus. Dalam sejarah misi, kita dapat banyak belajar dari para misionaris seperti Hudson Taylor, C.T Stud, Nomensen. Iman kekristenan yang mereka imani justru memberikan indikasi bahwa mereka bukan mendasari kehidupan religiusnya dengan pemahaman takut terhadap kesulitan. Justru mereka masuk ke dalam kesulitan, mereka mengambil resiko di dalam kesulitan dan mereka melewati kesulitan di dalam Kristus.

Dalam Kasih Kristus
Daniel Santoso
Guangzhou, China

Aula Simfonia Jakarta

Vitrivius, seorang arsitek Roma abad 1 memberikan 3 prinsip mengenai “good building” yaitu Pertama, Firmitatis (menekankan kondisi bangunan) Jika bangunan tidak memiliki firmitatis, bangunan tersebut hanyalah sebuah fenomenal yang tidak bertahan lama. Kondisi bangunan menentukan bangunan yang baik. Baru-baru ini satu gedung perkantoran di daerah Taiwan roboh, padahal gedung perkantoran tersebut baru 3 tahun. Problemnya adalah mutu bangunan belum memenuhi syarat firmitatis yang kuat. Firmitatis menjadi poin penting dalam bangunan karena umur gedung tersebut ditentukan dari firmitatis yang kuat. Kedua, Utilitatis (menekankan fungsi bangunan bagi orang lain), Ketiga, Utilitatis, Fungsi menjadi poin penting dalam membangun sebuah gedung, Apa jadinya bila tidak ada poin utilitatis? Tentu saja, gedung tersebut tidak akan berfungsi secara maksimal alias mandul memberikan sumbangsih dalam perjalanan hidup manusia. Jika saudara melihat Eropa, kerajaan dan gedung-gedung gereja menjadi daya tarik tersendiri di dalam dunia arsitektur. Mengapa demikian? Kerajaan melayani rakyat. Gereja melayani Tuhan. Ada fungsi-fungsi penting dan sakral dalam fungsi bangunan tersebut. Ketiga, Venustatis (ada keindahan yang membangunkan semangat). Neuroaesthetic. Dalam arsitektur, estetika memiliki “linked” dengan “order” dan “balance”. Terkadang beberapa designer rela membuang “function” demi sebuah “beauty”. Tentu saja, keduanya gak bisa dipisahkan karena kita adalah manusia yang menekankan fungsi dalam kehidupan dan keindahan melampaui ruang dan waktu karena keindahan bukan sebuah material namun sebuah “sukacita”.

Sebuah kebanggaan bagi rakyat Indonesia, Aula Simfonia Jakarta menjadi auditorium pertama di ibukota yang dikhususkan bagi pentas musik klasik dengan ornamen-ornamen “renaissance”, potret para komponis dan gedung pementasan yang anggun, megah dan besar. Aula Simfonia Jakarta didesign oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, seorang pendeta reformed, teolog reformed, filsuf, musikus, ahli sejarah, guru besar, arsitek.

Suara akustik Aula Simfonia Jakarta menekankan hasil “direct sound”, “early reflection sound” dan “overall reverberation” yang jernih. Tidak mudah bagi arsitek dalam membangun sebuah auditorium dengan suara akustik yang jernih. Menurut informasi sebuah website http://www.church-acoustics.com, kesulitan dalam design sebuah auditorium adalah memperoleh “good projection of the sound to the rear of th enclousure”, “good clarity and articulation”, “good balance of low and high frequencies”, “feeling of intimacy and presence”. Aula Simfonia Jakarta merupakan salah satu auditorium di seluruh dunia yang telah melewati kesulitan tersebut. Puji Tuhan! Segala kemuliaan hanya bagi Allah saja.

Dalam Kristus
Daniel Santoso
Jakarta, Indonesia

On Zionhollywoodism

Baru-baru ini saya membaca sebuah buku berjudul “Zionhollywoodisme” yang ditulis oleh seorang analis politik Iran, Dr. Majid Shafa Taj. Istilah “Zionis” menjadi haram dalam vocabulary Dr. Majid Shafa Taj yang penuh dengan rasisme nan kafir (dalam hal ini, kekristenan digabungkan ke dalam golongan zionis). Ia menganggap Zionis cenderung memisahkan agama dengan dunia, padahal itu konsep dualisme yang bukan ajaran yahudi maupun kekristenan. Dalam tradisi Yahudi dan kekristenan, justru mereka adalah kelompok yang tidak kompromi dengan dunia. Respon kekristenan dapat mereka lihat jelas di dalam respon Miss California 2009, Miss. Carrie Prejean yang awalnya ia mendapatkan nominasi runner up pertama dalam pemilihan Miss USA, akhirnya ia harus melepaskan kesempatan untuk memperoleh nominasi tersebut karena Carrie menentang same marriage karena “ it is about being biblically correct!”. Salute!

Dalam buku tersebut, Dr. Majid Shafa Taj mengatakan bahwa kaum Yahudi menggambarkan dirinya sebagai orang yang paling “tersendiri” dalam tokoh film hollywood, misalnya Mickey Mouse, The Ugly Duckling yang memperoleh pengharapan pada saat mereka menghadap kepada matahari. Menurutnya, matahari digambarkan sebagai pulang ke tanah perjanjian kaum Yahudi sehingga film-film tersebut memberikan konsep pengharapan bagi kaum pilihan Allah yang tertindas, dalam hal ini kaum Yahudi. Ia memberikan propaganda kepada kaum muslim agar mereka tidak meniru hidup orang-orang kafir yang dianggapnya “haram”. Sebagai contoh, Dr. Majid Shafa Taj mengutip Will Durrant dalam bukunya “History of Civilization” mengatakan bahwa Christopher Columbus memulai ekspedisi suci mencari “tanah perjanjian”. Menurut versi Dr. Ali Syariati, sebelum Columbus tiba di “tanah perjanjian”, benua Amerika telah tergambar di dalam peta yang dibuat oleh seorang muslim yang bernama Abu Raihan Biruni yang dicuri oleh Christopher Columbus. Dr. Majid Shafa Taj menuduh tanpa bukti bahwa Columbus bukan pahlawan yang baik, justru dia seorang pembantai, penganut perbudakan, pemerkosa wanita. Menurut saya, inilah “perang perspektif” dimana Barat dan Timur saling membenarkan perspektif mereka masing-masing sehingga kebenaran menjadi “kabur” sehingga “doubles perspectives” hidup bersama-sama bagai padi dan lalang tanpa kepastian siapa yang benar dan siapa yang salah. Dalam hal ini, Film “The Flag of Our Fathers” dan “The Story of Iwo Jima” menjadi “doubles perspectives” yang hidup bagai padi dan lalang saling mempengaruhi “massa”. Dunia berusaha mengajak “padi” dan “lalang” berdialog. Bagaimana saudara menanggapinya? Tentu saja, dialog bakal memperluas wawasan informasi mengenai “padi” dan “lalang” tetapi jika hati mereka tidak “takut kepada Tuhan” dan mau terbuka mencari kebenaran menurut perspektif yang benar maka “perang perspektif” tetap “exist” mewarnai ambiguitas dunia dengan kekayaan informasi tanpa kepastian kebenaran yang “akurat”. Hanya Tuhan yang mampu memberikan kebenaran yang sejati! Saya bukan membela Zionis maupun Barat karena sekularisme adalah raja Barat dan Zionisme masih menunggu kedatangan Mesias seperti raja Daud. Pertanyaannya adalah siapakah kebenaran sejati tersebut? Hanya Perspektif Allah memberikan deklarasi iman bahwa satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup adalah di tangan Yesus Kristus. Oleh karena itu, perspektif kebenaran harus di dalam Kristus.

Dalam Kasih Kristus
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan, ROC

Exile

Tidak mudah menjalani hidup sebagai seorang usiran seperti Edward Said. Lahir di Palestina, pernah mengungsi ke Mesir dan menjadi imigran di Amerika Serikat. Usaha Said menafsir ulang sejarah dari perspektif orang usiran cukup memberikan serangan sengit terhadap dunia barat yang dianggapnya borjuis. Konteks keterusiran Said berusaha memberikan sebuah pemahaman “ada kebenaran dibalik penindasan”. Hal tersebut tersirat di dalam bukunya Orientalism (1978) dalam konsep strategi kekuasaan yang dipengaruhi oleh Antonio Gramsci dan Michel Foucault, keluar dari dogma dan pendirian partai yang “kaku”. Francis Fukuyama, pencetus “end of history syndrome” yang mempercayai demokrasi liberal adalah penyelamat bagi dunia Barat dilawan keras oleh Said. Bagi Said, Fukuyama malah memperkembangkan kecenderungan imperialisme yang dicemari oleh kebutuhan ideologis, motivasi kekuasaan membangun imperium, superioritas rasial dan kultural yang melekat pada tujuan politik. Said membaca Barat dengan antagonis, berusaha keras membebaskan diri dari esensialisme karena baginya, kebenaran adalah situasional. Tidak heran, konsep kebenaran Said menjadi relatif alias “blur” seperti konsep post-strukturalisme dari Michel Foucault, Roland Barthes, Jacques Derrida yang mempercayai “tidak ada yang transparan di dalam dunia ini”. Dalam hal ini, Epistemologi alternatif ditawarkan oleh Said untuk menyisihkan wawasan barat yang “erosentris”. Said mengadopsi pemikiran Antonio Gramsci untuk membangun massa dan membangun kekuasaan minoritas melalui persuasi dan kolaborasi. Said tidak sendirian. Daniel Barenboim (musikus) dan Salman Rushdie (novelis) menjadi ikon perjuangan Said dalam era abad 21 ini.

Kedatangan Yesus Kristus ke dalam duniapun tidak terhindar dari “exile”. Bayi Yesus berpindah kota dari Betlehem, Mesir, Nazaret karena desakan ulah antagonis kaisar agustus dan raja herodes terhadap bayi Yesus. Pertanyaannya, kenapa kaisar agustus dan raja herodes begitu antagonis terhadap bayi Yesus? Mereka tahu Yesus adalah raja orang Yahudi yang menggenapi nubuat leluhur. Yesus bukan sosok figur sembarangan karena Yesus adalah Kebenaran yang diwahyukan oleh Allah dan ditunggu-tunggu oleh manusia sepanjang zaman. Kebenaran Kristus bukanlah kebenaran situasional. Kebenaran Kristus adalah kebenaran yang absolut dan sakral. Dunia membencinya sehingga kebenaran direlatifkan dan disituasionalkan di dalam kepalsuan di dalam “label” yang religius.

Postmodern gencar mempengaruhi dunia dengan “spirit of nihilism” yang menekankan makna adalah ciptaan historis dan kultural sehingga makna tidak akan pernah hanya memiliki satu definisi. Jika demikian, kebenaran situasionalpun menjadi tidak akan pernah memiliki satu kebenaran. Pertanyaannya, bagaimana tokoh-tokoh postmodern menanggapi peristiwa Holocaust? Bukankah sebagian dari tokoh-tokoh postmodern adalah korban dari peristiwa Holocaust? Bagaimana mereka menanggapi kebenaran Hitler? Bagaimana mereka menanggapi kebenaran orang-orang Yahudi saat itu? Jika kebenaran adalah situasional, mana kebenaran yang salah? Mana kebenaran yang benar? Inilah problem dari nihilism yang liar sehingga kebenaran bukannya memberikan “kepastian” malah memberikan ruang ambiguitas yang lebih liar lagi. Oleh karena itu, dimanakah kebenaran absolut?

Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, kebenaran manusia adalah relatif karena dasar pijakan dan fondasi pemikiran manusia telah “terinfeksi” dosa sehingga tiada seorangpun dapat memberikan konsep kebenaran yang paling akurat benar, kecuali Allah dan karya Allah di dalam Yesus Kristus, satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup. Inilah tantangan hidup kita dalam era postmodern. Kita hidup di dalam “pembuangan”. Masihkah kita “hidup benar” di dalam kebenaran Kristus?

Dalam kasih Kristus
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan, ROC

Ad Fontes

Sebuah kata reformasi yang mendorong setiap hati nurani manusia kembali kepada sumber kehidupan kekal, Back to the sources! Di dalam Filsafat Modern, Hegel mengatakan bahwa kesalahan terbesar dari manusia di dalam sejarah adalah manusia tidak mau belajar sejarah. Kenapa sejarah menjadi penting? Karena di dalam sejarah banyak kelimpahan prinsip, teladan, pengalaman, pengajaran yang baik dilakukan oleh orang-orang sebelum era kita hari ini. Di dalam kekristenan, kita dapat melihat tokoh-tokoh yang memberikan “spiritual insight” kepada kita mengenai apa itu kekristenan, apa itu doktrin, apa itu penginjilan, apa itu buah pelayanan seperti Augustine, Martin Luther, John Calvin, Jonathan Edwards. Mereka bukanlah tokoh-tokoh biasa. Mereka adalah kaum intelektual yang menjadi instrumen belas kasih dan anugerah Allah. Poin penting dalam hidup mereka adalah Scripture Alone menjadi “the guiding principle” dalam setiap karya-karya yang menakjubkan tersebut. Terlintas dalam benak saya, bagaimana hidup saya hari ini? Fakta hidup manusia membuat manusia tidak peduli terhadap sejarah, mereka lebih menyukai hidup “liar” di dalam kreativitas membuat sejarah baru melalui inovasi populer, tanpa kembali kepada “ad fontes” yang sesungguhnya.

1. Ad fontes is the work of God

Siapakah sumber hidup manusia? Apa sumber hidup manusia? Bagaimana sumber mengisi hidup manusia? Mengapa manusia harus memiliki sumber hidup? Pertanyaan “worldview” ini seharusnya mengugah setiap kita untuk “realized” bahwa ini bukan sebuah pertanyaan tetapi ada konfirmasi bahwa Allah adalah sumber hidup manusia. Firman Allah adalah sumber hidup manusia. Karya Allah adalah sumber yang mengisi hidup manusia. Kasih anugerah Allah rela turun ke dalam dunia tuk membawa manusia yang “fallen into sin” kembali kepada Allah. Sumber hidup manusia adalah karya Allah. No offense!

2. Ad fontes is given to us in Christ

Sumber hidup sejati tidak bisa dilepaskan dari Anugerah Allah. Tidak ada seorangpun dapat mengusahakan dirinya menemukan sumber hidup yang sejati dengan status “fallen into sin”. Ad fontes hanya dapat diwakili oleh Allah. Nihilisme hanya bikin ad fontes manusia semakin nihil. Sekali lagi, Manusia tidak mungkin dapat mengerti ad fontes tanpa karya Allah. Karya Allah diberikan kepada kita melalui Yesus Kristus untuk menebus dosa orang percaya dan membawa setiap orang percaya mencicipi “taste of ad fontes in Christ” yang mengerti makna hidup manusia yang sesungguhnya hanyalah di dalam Allah.


Dalam Kristus
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan, ROC

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...