Friday, February 05, 2010

Exile

Tidak mudah menjalani hidup sebagai seorang usiran seperti Edward Said. Lahir di Palestina, pernah mengungsi ke Mesir dan menjadi imigran di Amerika Serikat. Usaha Said menafsir ulang sejarah dari perspektif orang usiran cukup memberikan serangan sengit terhadap dunia barat yang dianggapnya borjuis. Konteks keterusiran Said berusaha memberikan sebuah pemahaman “ada kebenaran dibalik penindasan”. Hal tersebut tersirat di dalam bukunya Orientalism (1978) dalam konsep strategi kekuasaan yang dipengaruhi oleh Antonio Gramsci dan Michel Foucault, keluar dari dogma dan pendirian partai yang “kaku”. Francis Fukuyama, pencetus “end of history syndrome” yang mempercayai demokrasi liberal adalah penyelamat bagi dunia Barat dilawan keras oleh Said. Bagi Said, Fukuyama malah memperkembangkan kecenderungan imperialisme yang dicemari oleh kebutuhan ideologis, motivasi kekuasaan membangun imperium, superioritas rasial dan kultural yang melekat pada tujuan politik. Said membaca Barat dengan antagonis, berusaha keras membebaskan diri dari esensialisme karena baginya, kebenaran adalah situasional. Tidak heran, konsep kebenaran Said menjadi relatif alias “blur” seperti konsep post-strukturalisme dari Michel Foucault, Roland Barthes, Jacques Derrida yang mempercayai “tidak ada yang transparan di dalam dunia ini”. Dalam hal ini, Epistemologi alternatif ditawarkan oleh Said untuk menyisihkan wawasan barat yang “erosentris”. Said mengadopsi pemikiran Antonio Gramsci untuk membangun massa dan membangun kekuasaan minoritas melalui persuasi dan kolaborasi. Said tidak sendirian. Daniel Barenboim (musikus) dan Salman Rushdie (novelis) menjadi ikon perjuangan Said dalam era abad 21 ini.

Kedatangan Yesus Kristus ke dalam duniapun tidak terhindar dari “exile”. Bayi Yesus berpindah kota dari Betlehem, Mesir, Nazaret karena desakan ulah antagonis kaisar agustus dan raja herodes terhadap bayi Yesus. Pertanyaannya, kenapa kaisar agustus dan raja herodes begitu antagonis terhadap bayi Yesus? Mereka tahu Yesus adalah raja orang Yahudi yang menggenapi nubuat leluhur. Yesus bukan sosok figur sembarangan karena Yesus adalah Kebenaran yang diwahyukan oleh Allah dan ditunggu-tunggu oleh manusia sepanjang zaman. Kebenaran Kristus bukanlah kebenaran situasional. Kebenaran Kristus adalah kebenaran yang absolut dan sakral. Dunia membencinya sehingga kebenaran direlatifkan dan disituasionalkan di dalam kepalsuan di dalam “label” yang religius.

Postmodern gencar mempengaruhi dunia dengan “spirit of nihilism” yang menekankan makna adalah ciptaan historis dan kultural sehingga makna tidak akan pernah hanya memiliki satu definisi. Jika demikian, kebenaran situasionalpun menjadi tidak akan pernah memiliki satu kebenaran. Pertanyaannya, bagaimana tokoh-tokoh postmodern menanggapi peristiwa Holocaust? Bukankah sebagian dari tokoh-tokoh postmodern adalah korban dari peristiwa Holocaust? Bagaimana mereka menanggapi kebenaran Hitler? Bagaimana mereka menanggapi kebenaran orang-orang Yahudi saat itu? Jika kebenaran adalah situasional, mana kebenaran yang salah? Mana kebenaran yang benar? Inilah problem dari nihilism yang liar sehingga kebenaran bukannya memberikan “kepastian” malah memberikan ruang ambiguitas yang lebih liar lagi. Oleh karena itu, dimanakah kebenaran absolut?

Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, kebenaran manusia adalah relatif karena dasar pijakan dan fondasi pemikiran manusia telah “terinfeksi” dosa sehingga tiada seorangpun dapat memberikan konsep kebenaran yang paling akurat benar, kecuali Allah dan karya Allah di dalam Yesus Kristus, satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup. Inilah tantangan hidup kita dalam era postmodern. Kita hidup di dalam “pembuangan”. Masihkah kita “hidup benar” di dalam kebenaran Kristus?

Dalam kasih Kristus
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan, ROC

No comments:

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...