Friday, February 05, 2010

Reflection on Joni's Promise

Janji Joni, sebuah film komedi populer Indonesia (2005) yang memberikan perenungan moralitas terhadap tema penting dalam kehidupan manusia yaitu:
1. Vocation. Joni mempercayai panggilan hidupnya sebagai pengantar film yang dapat diandalkan. Meskipun gaji yang ia peroleh tidak terlalu banyak, baginya itu cukup dan Joni “enjoy” dengan pekerjaannya tersebut. Hari ini, bukanlah banyak orang bekerja bukan untuk menjalani panggilan hidupnya tetapi banyak orang hanya mencari “pleasure” alias kenikmatan hidup. Kalaupun perlu, bekerja dengan cara yang paling harampun dilegalkan demi “pleasure”. Oleh karena itu, Tidak heran jika budaya korupsi merajalela dan bermain dalam persaingan hidup yang hanya dinilai dari kekayaan material belaka. Profesi Joni seringkali dianggap sebuah profesi “mboh cuan”, tetapi justru profesi inipun penting di dalam kebudayaan. Jika tidak ada pengantar film maka tidak mungkin film dapat diputar dan penonton dapat menonton film tersebut. Maka profesi ini penting. Contoh: Apa jadinya dunia jika tidak ada tukang sampah? Ya dunia hanyalah sampah. Banyak orang menghina tukang sampah sebagai pekerjaan yang “jorok”. Justru kita dapat melihat pekerjaan sebagai tukang sampah juga sebuah pekerjaan yang mulia. Pekerjaan yang kecil dan pekerjaan yang besar adalah panggilan hidup yang mulia, di saat kita semuanya kita lakukan “before God”.
2. Responsibility. Joni belajar menjalani sebuah tanggungjawab atas pekerjaan yang ia harus jalani yaitu ia tidak boleh terlambat dalam mengantarkan film tersebut. Oleh karena itu “speed” dan “trust” menjadi bagian yang Joni senantiasa pelajari di dalam benaknya sebagai pengantar film. Jika ia terlambat maka ia mengecewakan penonton. Di dalam film tersebut, Joni tidak pernah sekalipun terlambat. Joni memiliki “track record” yang “perfect” sampai nama Joni menjadi jaminan. Tetapi, Dikisahkan Joni terlambat beberapa menit dan ia menyesali semuanya. Padahal, banyak musibah dia alami, baik dari kehilangan motor saat menolong orang tua menyebrang jalan, kehilangan tas isi film waktu menolong seorang perempuan yang mau dijambret, membantu mantan preman yang menjadi sopir taxi “yellow cab” menemani istrinya di rumah sakit dan meemberi nama anak tersebut “DAMN”. Hahaha.
3. Courage. Joni berani menjalani setiap kesulitan demi kesulitan demi tuntasnya tanggungjawab dia sebagai pengantar film, ia rela capek, kerja keras dan semuanya itu bukan tuntutan dari “job description”, tetapi ini persoalan hati dan komitmen yang jelas. Joni terus berusaha mencari jalan, mengejar timing. Akhirnya, meskipun Joni terlambat beberapa menit dan recordnya “tercoreng”, Ia telah berusaha semaksimal mungkin. Luar biasa!
4. Goodness. Joni banyak melakukan hal yang baik, tapi ia malah “dikadalin” ama orang jahat. Demi menolong seorang buta, motornya hilang dicuri orang, demi menolong perempuan yang mau dijambret, tas isi rol filmpun lenyap dibawa kabur oleh perempuan yang ditolong Joni. Ia tabur kebaikan tapi malah menerima panen kejahatan dari orang lain. Ini fakta hidup bahwa orang baik adalah target para penipu. Toh, Joni tetap memperjuangkan kebaikan menjadi fokus yang tidak boleh hilang di dalam “vocabulary” hidupnya.

Film yang disutradari oleh Joko Anwar ini cukup mengesankan karena keberagaman karakter manusia menunjukkan bentuk masyarakat yang kompleks di dalam perbedaan dan persamaan. Inilah sebuah realita. Jika demikian, bagaimana dengan kehidupan kekristenan? Apa jadinya jika perspektif kekristenan berdiam diri? Justru Kekristenan harus memberikan penjelasan melampaui moralitas dan pesan motivator manusia tetapi bagaimana kekristenan membawa konsep Kebenaran menjadi tuan atas pesan moral di dalam film tersebut.
1. Yesus Kristus adalah satu-satunya teladan hidup manusia yang mampu membawa setiap kita untuk mengenali, menelaah, menjalani dan menghidupi perjuangan hidup meneladani-Nya. Kenapa harus Kristus? Karena Yesus Kristus adalah satu-satunya manusia yang dapat melakukan apa yang menjadi standar Allah. Ada perbedaan kualitatif sehingga fokus keteladanan di dalam Kristus jelas berbeda dengan fokus keteladanan di dalam diri manusia. Di dalam fokus keteladanan Kristus, kita diajarkan untuk melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan, sedangkan fokus keteladanan manusia hanyalah mengajarkan apa yang baik menurut masyarakat.
2. Ikut Yesus, ada tanggung jawabnya sebagai seorang “believer”. Banyak manusia melakukan segala sesuatu hanya didasarkan dengan “money” tetapi kita kurang peduli terhadap tanggungjawab kita di hadapan Tuhan sehingga kita menjalani kehidupan dan pekerjaan kita secara terpaksa dan kita tidak menikmati kehidupan tersebut. Justru kita harus menjalani hidup kita sesuai hati nurani yang suci dan menjalani kehidupan yang selalu diperbaharui menurut apa yang dikehendaki oleh Allah melalui keselarasan dengan Firman Tuhan. Tanggung jawab setiap kita bukan asal memperoleh gaji saja tetapi bagaimana setiap kita dapat memuliakan Tuhan melalui setiap kehidupan kita masing-masing.
3. Hidup kristen bukan berarti lepas daripada kesulitan seperti apa yang didengungkan oleh penganut teologi kemakmuran. Justru, kesulitan bukanlah sebuah subyek yang terpisahkan dalam kehidupan kristen, justru orang kristen hidup melampaui setiap kesulitan yang ada. Kalaupun belum dapat melewati kesulitan itu, justru kita harus belajar rendah hati dan menyadari bahwa hanya pertolongan dari Tuhan mampu memberikan pengertian bagi setiap kita untuk memahami berkat-berkat Tuhan dibalik setiap kesulitan tersebut dan bertumbuh dewasa di dalam Kristus.


Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

No comments:

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...