Sunday, February 07, 2010

The Need of Living Morality

Hari ini kami sedang berdiri diatas sebuah negara komunis terbesar yang disegani oleh negara adi kuasa Barat, salah satunya Amerika Serikat. Betapa tidak, President Amerika Serikat, Barak Obama datang melakukan kunjungan kenegaraan ke China baru-baru ini, bukan sebagai “cowboy” seperti “american heroes”. Justru Obama datang untuk memohon China guna membuka ruang lebih luas untuk menerima barang-barang dari Amerika Serikat. Seorang sosiolog Amerika Serikat keturunan Jepang, Prof. Francis Fukuyama, penulis buku “The end of history and the last of man” percaya bahwa konsep demokrasi liberal adalah jalan yang terbaik menuju dunia yang makmur. Fukuyama melihat Amerika Serikat tidak bakal mudah bernegoisasi dengan China karena China tidak memiliki “universalistic ideology” sehingga China memiliki peluang besar menjadi “the next powerful country in the world”. Henry Kissinger, orang penting dalam sejarah Amerika Serikat juga pernah memberikan pendapat yang kurang lebih sama bahwa China adalah “scary country” dan China bakal merubah dunia di dalam sesaat waktu. Fakta membuktikan kemajuan ekonomi China yang pesar dalam 15 tahun terakhir menjadikan China sebagai “the real dragon of Asia”. Pertanyaannya, Apakah perkembangan ekonomi China sudah cukup memberikan jaminan bahwa China hidup makmur? Justru tahun 2008, President China, Hu jintao mengatakan tidak cukup. Negara China harus equal dengan “soft power” dengan chinese thought, chinese culture dan chinese values yang dimotori oleh spirit of benevolence (spirit of ren). Ini perubahan radikal yang dialami oleh China dewasa ini. Konsep diatas ditolak oleh pendahulunya, Mao Tze Dong, tetapi bibit “soft power” sudah dimulai oleh Deng Xiao Ping yang lebih “open minded” terhadap “western cultures”.

Spirit of Ren yang memotori perubahan China 15 tahun terakhir ini menjadi kesadaran China di dalam pentingnya moralitas dalam sebuah bangsa. Jika sebuah bangsa tidak memiliki moralitas yang baik maka sebesar apapun bangsa itu akan hancur. Sayangnya, China mengantungkan standar moralitas mereka bukan kepada Allah, tetapi kepada konsep humanisme yang ateis. Bagaimana kita melihat standar Allah?

Matius 6:33 mengajarkan kepada kita untuk mencari dahulu kerajaan Allah dan kebenaran Allah. Mengapa kerajaan Allah dan kebenaran Allah menjadi penting? Karena hanya di dalam kerajaan Allah dan kebenaran Allah ada Kasih yang menyelamatkan mereka kembali kepada Allah.

Dunia semakin hidup di dalam globalisasi sehingga
1. Prinsip value of life manusia hanya didasarkan pada batas fisikal dan fenomenal “sekarang”.
2. Target of life yang manusia jalani hanya untuk memperkaya “gaya hidup” manusia.
3. Aplikasi hidup mereka hanyalah dipandang dari function yang pragmatis saja.

Justru Firman Tuhan mengajarkan setiap manusia untuk meletakkan:
1. Prinsip value of life manusia didasarkan pada “hidup kekal” yang diberikan Allah kepada manusia di dalam spiritualitas.
2. Target of life manusia harus memperkaya hidup manusia dengan makna hidup yang diberikan Allah.
3. Aplikasi hidup manusia harus dilihat dari vocation yang diberikan Allah kepada setiap manusia.

Inilah tugas gereja. Gereja harus berani menggelisahkan jemaat untuk mencari apa yang Tuhan kehendaki, bukan apa yang manusia kehendaki. Justru gereja harus berani menerima tugas yang berat ini dan melakukan perjuangan sengit menantang zaman karena inilah misi penginjilan yang kembali kepada apa yang Tuhan kerjakan melalui Yesus Kristus. Maukah kita berjuang mati-matian menegakkan standar Allah di dalam kerajaan Allah dan kebenaran-Nya bagi dunia ini?

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Guangzhou, China

No comments:

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...