Wednesday, April 27, 2011

VERITAS DEI

Harvard University, sebuah universitas terkemuka di Amerika Serikat yang menjadi dambaan setiap mahasiswa-mahasiswi seluruh dunia yang merindukan masa depan cerah dalam karier mereka (hopefully). Logo “VERITAS” terpampang di setiap sudut kampus bergengsi tersebut, Mark D. Roberts mengungkapkan nuansa “VERITAS” berada dimana-mana seperti “the eye of God”. Apa sih “VERITAS” itu? Tidak lain, “VERITAS” adalah kosa kata bahasa Latin untuk “Kebenaran”.

Manusia tidak dapat lepas dari sebuah kenyataan bahwa manusia adalah sosok ciptaan dari Sang Pencipta. Hubungan creator – creatures adalah kebenaran yang tidak dapat ditolak karena itulah natur setiap manusia. Manusia tidak dapat lepas dari “searching for THE TRUTH” karena setiap manusia memiliki “sense of divinity” dalam dirinya. Namun problem terbesar manusia adalah manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Sang Pencipta. Manusia telah “Fall into sin” namun manusia tetap bersikeras hendak berkuasa dan melampiaskan nafsu mereka dalam menentukan kebenaran.

Mengapa manusia membutuhkan Kebenaran? Frederich Nietzche, seorang filsuf modern yang mempopulerkan dirinya dengan “Death of God Theology”, ia mengatakan bahwa kebenaran ada di dalam diri setiap manusia yang berhasil menjadi “Ubermench” alias “Super Man”. Konsep “Ubermench” Nietzche tercipta dari hasil “blenderan” dua semangat mitologi Yunani yaitu Apollonian (dewa kuasa, dewa ambisius) dan Dionysian (dewa mabuk, dewa nafsu). Gabungan tesis-anti tesis diatas diharapkan oleh Nietzche dapat menciptakan sebuah formula bagi kehidupan manusia yaitu sukses. Bagi dunia, sukses adalah segala-galanya. Jika kita tidak berada di puncak gunung maka kita bukanlah siapa-siapa! Rupanya, Harvard University di masa kini sedang menghidupi semangat kesuksesan ini. Banyak orang-orang pintar dicetak oleh kampus bergengsi ini tapi dimanakah orang-orang benar? Ingat, Matius 16:26 ada tertulis ‘What profit is it to a man if he gains the whole world, and loses his own soul”. Harvard bukan lagi menghasilkan orang-orang benar, mereka hanya memproduksi orang-orang pintar bagi dirinya sendiri. Kebenaran Allah telah diusir dari area publik, bahkan area privat. Makna “VERITAS” telah hilang dari Harvard University. Bagaimana kita dapat menemukannya kembali?

Back to the Scripture. Injil Yohanes 8:31-32 – Jikalau kamu tetap dalam Firman-Ku, kamu benar-benar murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan. Kebenaran adalah Allah sendiri. Teladan Kebenaran hanya terletak di dalam Inkarnasi Yesus Kristus yang menjalani hidup-Nya sesuai dengan Kitab Suci. Hanya di dalam Yesus Kristus, kita dapat mengenal Kebenaran Allah dan hidup di dalam Kehendak Allah yaitu hidup kudus dan merdeka dari dosa. Bagaimana merdeka dari dosa? Bukan hanya mengenal secara “episteme” maupun “theoria”, namun kita harus bertindak tuk “terlibat” di dalam Allah dan Kebenaran-Nya yaitu “ginosko/ epiginosko”. Tanpa “keterlibatan”, tiada seorangpun orang yang sudah punya “label” kristen mengenal Allah dan Kebenaran sejati. Sekali lagi, hari ini terlalu banyak orang yang memiliki label kristen tapi mereka hanyalah kristen tipe “episteme” dan “theoria” tetapi mereka belum “ginosko”. Bagaimana mau “ginosko”? Lakukan dulu Kebenaran, sesuai Kitab suci. Kuncinya adalah “Jadilah Murid Kristus”. Namun menjadi “Murid Kristus” bukan hanya bicara tentang hubungan pribadi dengan Dia, melainkan harus terkait dengan hubungan terhadap sesama. Mereka harus punya tanggungjawab untuk tidak boleh menyesatkan orang lain, justru mereka harus membawa Kebenaran Allah untuk diajarkan kepada orang lain. Itulah tanggung jawab “Murid Kristus”

Originalitas “VERITAS” Harvard University mula-mula adalah tertulis “VERITAS CHRISTO ET ECCLESIAE – TRUTH FOR CHRIST AND CHURCH”. Dimana Kebenaran yang memerdekakan pasti berelasi dengan Yesus Kristus dan Gereja-Nya. Yesus Kristus menjadi “the only foundation of all sound knowledge and learning.” Gereja menjadi representatif Allah di dalam dunia untuk memberitakan Kebenaran Allah baik dalam mandat Injil maupun mandat budaya. Namun, Harvard University telah menukarnya dengan “TOLERANCE” dan membuang keberadaan Allah, Kebenaran Kristus dan Peranan Gereja dalam Pendidikan. Harvard University, bukan lagi “Bible Proclaiming School”. Mereka hanya peduli terhadap program humanisme untuk memproduksi “ man of success”, bukan “man of significance, man of honor, man of integrity”.

Tahun 1970 an, Di Vietnam, Ada seorang anak muda bernama Hien Pham, dia seorang penganut agama Budha, namun ia meninggalkan agama Budha karena ia merasa kosong seperti orang yang tidak beragama. Akhirnya ia mendatangi sebuah gereja dan ia berbicara dengan pendeta setempat untuk menemukan kebenaran. Akhirnya, ia menyerahkan dirinya menjadi seorang kristen. Ia sangat fasih di dalam bahasa Inggris. Akhirnya dia menjadi seorang translator bagi tentara Amerika maupun tamu-tamu internasional. Singkat cerita, Vietnam jatuh ke tangan komunis. Hien ditangkap oleh komunis dan dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh telah membantu tentara Amerika. Hien tidak diperbolehkan berbicara di dalam bahasa Inggris dan Hien didoktrinasi dengan propaganda komunis baik dari Engels, Marx, Lenin dan Ho Chi Minh. Rupanya, “Communist Manifesto” membawa Hien untuk membaca ulang iman kepercayaannya terhadap Kristus. Akhirnya, ia berencana hendak meninggalkan iman kristennya. Tibalah di sebuah pagi hari, ketika Hien ditugaskan untuk membersihkan toilet “kotor”, dirinya melihat “toilet paper” bekas yang kotor dan bau. Rupanya, “toilet paper” yang bekas dipakai adalah sobekan Alkitab dalam bahasa Inggris. Ia bersihkan dan akhirnya ia menemukan iman kristennya kembali melalui “toilet paper” - (Roma 8:28, 38,39). Bagaimana mungkin? Semua hanya karena Kebenaran Allah yang memerdekakan Hien dan Hien menemukan hidupnya kembali menjadi “MURID KRISTUS”. “Life is not about getting the destination, but life is about walking with God and His Truth on the journey to the destination.”

Tercatat di dalam Injil Lukas 23, Ketika Yesus berseru dengan nyaring “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya. Ketika kepala pasukan melihat apa yang terjadi, Ia memuliakan Allah, katanya “Sungguh orang ini adalah orang benar!”. Dan sesudah seluruh orang banyak, yang datang berkerumun disitu untuk tontonan itu, melihat apa yang terjadi itu, pulanglah mereka sambil memukul-mukul diri. Dari bagian ini kita dapat mengetahui sebuah kebenaran bahwa kematian Yesus bukan karena Diri-Nya dibunuh, tetapi Ia menyerahkan nyawa-Nya kepada Allah. Justru, Yesus bukan kalah, justru Ia telah menang karena Ia telah melakukan kehendak Allah, sesuai Kitab Suci. Setelah melihat semuanya itu, kepala pasukan “kafir” memuliakan Tuhan? Penonton-penonton memukul-mukul diri? Bagaimana mungkin? Mereka pelaku “order” sistem pemerintahan maupun sistem religius yang rusak, mereka penonton yang telah membayar karcis “The Passion of the Christ” dengan “darah mereka”. Namun, Yesus telah mengampuni mereka dan Ia mati untuk menebus dosa setiap orang percaya. Ia bangkit atas kematian untuk mengenapi rencana Allah untuk memberikan pengharapan kepada setiap orang percaya untuk menemukan kepastian hidup kekal. Itulah Kebenaran yang memberikan keselamatan. Keselamatan hanya diperoleh melalui apa yang telah Tuhan Yesus kerjakan. Tidak ada kata terlambat untuk berbalik dan percaya kepada Allah. Bagaimana dengan kamu hari ini? Sudahkah “VERITAS DEI” memerdekakan hidupmu? Maukah engkau menerimanya hari ini?

In Christ
Daniel Santoso
Tianjin, China

Wednesday, April 06, 2011

A Warning to rich peoples

Sebuah pertanyaan reflektif mengenai keberadaan Allah dilayangkan kepada orang-orang terkaya di Amerika Serikat. Bill Gates, CEO Microsoft mengambil sikap agnostik dan menganggap urusan “pergi ke gereja” adalah tindakan yang tidak efisien karena menurutnya, ia dapat melakukan banyak pekerjaan dalam “satu jam” saja. Warren Buffet, CEO Berkshire Hattaway dikenal sebagai seorang yang too mathematical, too logical dan dirinya tidak banyak peduli terhadap kehidupan spiritual. George Soros, Chairman dari Soros Fund Management dan Open Society Institues lebih tegas menyatakan dirinya atheist. Contoh, George Soros, seorang spekulan pasar uang yang telah meraup untung 1,2 milyar dollar menjatuhkan poundsterling sehingga Inggris mengalami inflasi besar-besaran di tahun 1982 karena ulahnya. Belum lagi, Tahun 1997-1998, Soros termasuk salah satu orang yang turut “bermain” dalam pasar uang sehingga Asia Tenggara mengalami krisis moneter, termasuk Indonesia yang akibat inflasi, hutang Indonesia sebesar Rp. 1500 triliun. Cacian muncul dari mulut Mahathir Mohamad, Mantan Perdana Menteri Malaysia yang mengatakan bahwa “mendagangkan uang adalah tindakan yang tidak bermoral”. Tidak sedikit, Soros dianggap “vampir” yang serakah dan haus kekuasaan karena tindakan Soros telah merugikan banyak negara dan sebagian masyarakat dunia. Muncul di benak saya, keinginan untuk mempelajari sedikit soal filsafat Soros. Rupanya beliau banyak menerapkan gagasan serta metode epistemologi dari Karl Popper.

Karl Popper, seorang filsuf postmodernisme yang percaya bahwa satu ilmu tidak mungkin dapat memadai tanpa ilmu-ilmu yang lain. Popper percaya bahwa pengetahuan yang kritis bukan diperoleh melalui verifikasi, namun falsifikasi. Jadi, bagi Popper, kebenaran adalah problem of setting, lalu gimana kita dapat melakukan problem of solving, maka logika falsifikasi dipakai untuk menemukan sebuah konklusi bahwa tidak ada kebenaran yang sempurna, yang ada hanyalah “verisimilitude” atau menyerupai kebenaran. Kebenaran dapat dikatakan ilmiah, apabila tiada kebenaran tandingan yang “corraborated”. Kalau ada, maka kebenaran yang kurang ilmiah harus dikatakan sebagai kesalahan. Semangat positif dari pemikiran Popper adalah bahwa kegagalan merupakan awal dari keberhasilan, namun setiap kegagalan pasti lebih benar? Atau masih ada ruang dapat salah? Dalam hal ini, teori falsifikasi tetap lemah dalam penentuan posisi sebagai kebenaran karena kebenaran dapat dikatakan sebagai kebenaran, masih di dalam sebuah “kesepakatan” akademis yang relatif.
George Soros banyak mengadopsi pemikiran Popper dalam penerapan epistemologis bahwa sifat manusia bisa salah (falliable). Knowledge manusia bertumbuh bukan karna “verifikasi” (pembenaran) tetapi dari “falsifikasi” (penyangkalan). Soros menolak pasar sebagai titik sempurna. Justru pasar tidak sempurna dan tidak pasti maka itulah tempat bermainnya. Side Effectnya, Tidak ada ruang kosong, tidak ada netralitas dan efek dari permainan globalisasi adalah penderitaan banyak orang. Sebab, Soros hanya konsentrasi kepada epistemologi tetapi mengabaikan etika.

Matius 19:23-24 berbunyi demikian “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Sorga”. Sebuah ayat dari Perjanjian Baru yang memberikan sebuah pengertian bahwa tidak mudah bagi orang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga, malah hiperbola dipakai “seekor unta” lebih mudah masuk melalui lubang jarum. Bagaimana kita membaca ayat ini? Apakah Alkitab melakukan “demonize” terhadap orang kaya? Jika kita kembali kepada Alkitab, kita akan menemukan kebenaran bahwa Allah tidak menentang setiap orang kaya, tetapi problem yang ditentang oleh Allah adalah problem sebagian orang kaya yang lebih mencintai uang daripada Allah (Lukas 12:13-21, 1 Timotius 6:6-10). Mereka mencintai uang dan harta kekayaan di dalam kerusakan total dirinya sebagai manusia berdosa yang telah kehilangan kemuliaan Allah dan mereka menjadikan uang dan harta kekayaan sebagai idola mereka, padahal Sepuluh Perintah Allah mencatat bahwa jangan ada padamu allah-allah lain di hadapan-Ku (Keluaran 20:3). Dalam hal ini, mereka harus bertobat, kembali kepada Allah dan bagaimana mereka menjalani kehidupan mereka dengan “takut akan Tuhan” dan melakukan penyelarasan sesuai dengan originalitas Allah, otoritas Allah dan selera Allah dalam Firman Tuhan. Itulah Kebenaran Allah yang tidak perlu ditentukan oleh “kesepakatan” kita dalam menentukan metode verifikasi maupun falsifikasi, melainkan inisiatif Allah menyatakan kebenaran satu-satunya yang memimpin manusia untuk mengikuti kebenaran Allah bersamaan dengan mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang selama ini kita adopsi sebagai filsafat hidup kita secara continue di dalam pekerjaan Roh Kudus untuk menyadarkan orang kaya untuk hidup dan mati untuk Yesus Kristus.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

Tuesday, March 29, 2011

Reason for the season 2

Kedua, Yesus Kristus adalah Allah yang rela turun ke dalam dunia yang berdosa, mengambil rupa seorang manusia untuk menggenapi rencana kekal Allah di dalam keselamatan. Manusia tidak dapat memiliki kehidupan yang sempurna karena semua telah jatuh ke dalam dosa. Akibatnya, banyak perintah Tuhan dan ketetapan Allah dilanggar karena mereka mengexcuse diri mereka tidak mampu menjalani perintah dan ketetapan Allah. Yesus Kristus menjadi satu-satunya manusia yang dapat menjadi teladan bagi manusia untuk mentransformasi manusia untuk bagaimana mereka belajar menghidupi hidup yang diperkenan oleh Allah. Dalam hal ini, Yesus Kristus menjadi satu-satunya teladan manusia hidup menurut kehendak Allah. Namun, banyak orang meneladani Yesus di dalam cara yang salah. Mereka bukan mau hidup seturut kehendak Tuhan, melainkan mau menjadi Tuhan menurut kehendak sendiri. Semangat “equality like God” masih panas membara di dalam kosa kata hidup manusia berdosa yang berjubah “religius”. Dalam Alkitab, kita dapat menemukan bahwa Lucifer, pemimpin malaikat Kerubim, pemimpin pujian Surga dan pemimpin malaikat tidak puas dengan semua kepemimpinan yang diberikan Allah kepadanya. Dalam kitab Yesaya 14, kita melihat seruan Lucifer “ I will be like most high. I will be the most high”. Apa yang Lucifer mau? Equality like God. Ini permohonan yang telah keluar jalur “positioning” yang benar! Tuhan menghukum Lucifer dengan membuangnya ke neraka. Siapakah Kristus? Ia adalah Allah yang rela mengosongkan dirinya menjadi manusia, mengambil rupa seorang budak “doulos” dengan “total submission” untuk melaksanakan apa yang Tuhan kehendaki (Thy will be done).

Ketiga, Yesus Kristus rela mengambil posisi sebagai “the suffering servant” untuk rela mati diatas kayu salib, meneteskan darah-Nya untuk menebus dosa manusia yang berdosa dan memberikan pengharapan baru di dalam hidup kekal melalui apa yang Yesus kerjakan di dalam dunia. Yesus melakukan semuanya untuk menebus dosamu dan dosaku. Ia rela menderita demi menanggung dosa-dosa kita yang sebenarnya tidak Ia lakukan. Ia mengasihi kita dan Ia menyelamatkan kita agar setiap kita dapat kembali kepada Allah Maha Pengasih.

Keempat, Yesus Kristus mati diatas kayu salib, dikubur di kuburan pinjaman. Namun kubur itu kosong dan Yesus menampakkan diri di hadapan murid-murid-Nya. Disini menyatakan bahwa Yesus bangkit dari kematian dan setiap kita dapat melihat pengharapan di dalam Kristus bahwa ada kehidupan baru setelah kita mati. Dalam hal ini, satu-satunya pendiri agama yang bangkit dari kematian hanya di dalam Yesus Kristus. Jadi, inilah keunikan iman kristen di dalam Kristus dan biarlah semua lidah mengakui bahwa Yesus bukan manusia biasa, Yesus adalah Tuhan dan Hanya di dalam nama Yesus Kristus kita dapat beroleh hidup kekal.
Inilah the real reason for the season. Natal bukan foya-foya! Natal bukan liburan! Natal adalah Pengharapan keselamatan Ilahi, hanya di dalam Yesus Kristus. Sudahkah engkau mengenal-Nya?

Dalam Kasih-Nya
Ev. Daniel Santoso
Tianjin

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...