Sunday, February 14, 2010

Stringless Violin

Hidup manusia tidak lepas dari kesalahan, penyalahgunaan maupun kecelakaan. Mungkin, statement tersebut dapat menjadi pesan secara general melihat fakta-fakta kehidupan manusia yang semakin rumit hingga melawan definisi kemanusiaan yang seharusnya tercermin dalam prinsip serta keputusan hidup manusia guna menyelaraskan kebenaran di dalam tingkah ciptaan Tuhan. Sayangnya, ciptaan Tuhan bukannya hidup seperti Sang Pencipta. Ciptaan malah tega berani menghancurkan sesama ciptaannya. Bahkan ciptaan yang telah dihancurkan oleh ciptaan lainnya, melakukan penghancuran lagi kepada ciptaan yang berikutnya. Inilah kondisi yang tercermin dalam film Indonesia berjudul Biola Tak Berdawai (2004) karya Seno Gumira Ajidarma, yang dibintangi oleh Ria Irawan dan Nicholas Saputra.

Di sebuah rumah bergaya arsitektur kolonial yang terletak di Kota Gede, Daerah Selatan Jawa Tengah, Seorang perempuan bernama Renjani mencium seorang anak kecil berusia 8 tahun dengan berkata “Ibu sayang sama Dewa”. Namun anak umur 8 tahun tersebut tidak memberikan reaksi yang biasanya tampak pada anak-anak seumurnya. Rupanya Dewa adalah seorang anak tuna daksa, dilahirkan cacat dari hasil hubungan gelap orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan Dewa termasuk salah satu anak-anak yang dibuang oleh orang tua kandungnya karena kecacatan mental maupun fisikal yang tidak lazim seperti kondisi anak-anak normal di dalam masyarakat. Meskipun demikian, Dewa membuat hidup Renjani penuh dengan makna. Siapakah Renjani? Seorang perempuan cantik berumur 31 tahun yang memiliki history yang menyayat hatinya. Ia seorang penari balerina. Namun, ia tidak lagi menari bahkan trauma karena ia diperkosa oleh instruktur balerinanya sendiri. Renjani menjadi korban pemaksaan dan pemerkosaan. Akhirnya, Renjani hamil dan iapun melakukan aborsi sehingga iapun kena sakit kanker. Teman Renjani, Mbak Wid kelihatannya lebih kuat dan punya dedikasi, namun kodratnya sebagai perempuan-pun pernah mengalami luka dalam di masa lalu dalam dunia prostitusi. Ia melayani di panti asuhan anak-anak cacat sekaligus memainkan kartu tarotnya membaca nasib hari demi hari. Dalam gejolak feminim yang kental mengapung dalam mendominasi cerita, muncul pula figur maskulin “prince of charming” dengan permainan biolanya membawa Dewa, Renjani masuk ke dalam jiwanya, Bhisma namanya. Ya, Bhisma, seorang anak umur 23 tahun yang tidak dapat melupakan Renjani cantik yang berumur 34 tahun maupun Dewa, anak tuna daksa umur 8 tahun yang hidupnya macam tak berguna. Singkat cerita, Bhisma menciptakan komposisi musik “Biola Tak Berdawai” yang didedikasikan kepada Renjani dan Dewa. Akhirnya, dedikasi tersebut mengiris hati penonton disaat ia memainkan komposisi musiknya di kuburan Renjani yang wafat akibat sakit kanker yang tidak pernah diketahui sebelumnya dan suara dewa yang memberikan respon “dewa sayang ibu” dengan terpatah-patah tidak jelas.

Biola Tak berdawai memiliki prinsip yang konservatif, religius dan mengangkat kodrat manusia sebagai pria, wanita dan anak-anak (dalam hal ini anak cacat). Prinsip penting moralitas dalam film tersebut menekankan kepada perspektif aborsi dan perspektif humanitas. Pesan konservatif bahwa aborsi adalah dosa, aborsi harus ditentang meskipun perempuan tersebut hamil akibat seks bebas maupun korban perkosaan karena anak dalam kandungan tersebut punya hak untuk hidup, termasuk anak cacat. Konsekuensi terburuk dari aborsi yaitu kanker sebagai result dari aborsi.

Soal Aborsi, bagaimana orang kristen seharusnya meresponinya? Justru kita harus kembali kepada Firman Tuhan sebagai satu-satunya dasar kebenaran yang kembali kepada standar Allah yang menyatakan bahwa Tuhan mengenal manusia bahkan sebelum manusia tersebut dilahirkan (Yesaya 49:1, Mazmur 139:13-16) dan manusia harus tetap mengambil responsibility yang dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Firman Tuhan berkata dalam Keluaran 21:22-23, Apabila ada situasi laki-laki tertumbuk pada perempuan yang mengandung sehingga perempuan tersebut harus melahirkan secara prematur, jika perempuan tersebut tidak terluka tetapi keguguran, laki-laki tersebut harus membayar denda sesuai putusan hakim, kalo perempuan tersebut terluka serius maka laki-laki tersebut bersalah dan harus kena “penalty of death” karena melawan hukum Taurat yaitu Jangan membunuh. Dalam hal ini, manusia harus memiliki responsibility kepada Tuhan dan kepada manusia. Mother Theresa menentang aborsi, Ia mengatakan bahwa aborsi bukanlah “teaching of love” tetapi “violence to get what human want”.

Soal Dewa, ia adalah ciptaan Allah yang memiliki beautynya sendiri dalam limitasi fisikalnya. Memang Dewa digambarkan seperti biola tak berdawai karena mereka tidak dapat memproduksi suara yang indah. Bahkan prolog menuliskan: Tanpa dawai, bagaimana biola dapat bersuara? Biola bagaikan tubuh, suara itulah jiwanya. Tetapi di sebelah manakah dawai dalam tubuh manusia dapat membuatnya berbicara? Jiwa hanya dapat disuarakan lewat tubuh manusia, tetapi ketika tubuh manusia tidak mampu menjadi perantara yang mampu menjelma jiwa, tubuh itu bagaikan biola tak berdawai. Gambaran dewa sebenarnya adalah gambaran saudara dan saya. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, manusia cenderung melawan Allah. Tetapi manusia dapat berdamai dengan Allah karena pekerjaan Kristus yang dinyatakan melalui pengorbanan-Nya diatas kayu salib, menebus dosa saudara dan saya sehingga saya dapat bertobat bukan karena tindakan saya, tetapi karena Kristus. (Galatia 2;20). Itulah tindakan anugerah Allah dalam Kristus Yesus yang memberikan “true meaning” dalam hidup saudara dan saya.

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Beijing, China

No comments:

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...