Saturday, June 21, 2008

Reflection on Yves Saint Laurent 1936-2008

Perjalanan dari Guangzhou-Hongkong-Taipei Dua hari yang lalu, Dunia fashion kehilangan seorang tokoh designer legendaris yang penuh inovasi di dalam mengikuti “ the evolution of women – ( fashion vocabulary ) “. Tidak heran jika South China Morning Post memberikan judul besar di kolom International halaman A9 “ YSL : The High Priest of High Fashion “. Julukan sakral itu diberikan oleh pengagum karya YSL dikarenakan dia menjadi orang pertama yang mmembawa perempuan tuk pakai celana,pakai tuxedo, baju maskulin, African style yang memberikan new inspiration kepada designer-designer lainnya. Mengagumkan. YSL lahir di Oran, Algeria – August 1, 1936 ( dahulu termasuk French territory ). Seorang pemalu, lonely child, homosexuality yang mati karena tumor otak.


Christian Lacroix memberikan tanggapan terhadap YSL bahwa YSL memiliki keunikan yang berbeda dengan designer besar lainnya. “ Chanel, Schiaparelli, Balenciaga and Dior all did extraordinary things. But they worked within a particular style. YSL is much more versatile, like a combination of all of them “. Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Lacroix. Di dalam pengamatan terbatas saya sebagai seorang awam, YSL memberikan inovasi yang “ simplicity “ plus “ versatility “ ( tentu saja secara humanis ).


Estetika YSL tentu saja termasuk seni, pertanyaannya bagaimana kita melihat seni hari ini ? Jika Plato melihat seni sebagai mimesis mimeseos ( tiruan atas tiruan ) dimana yang asali adalah dunia ide dan seni adalah tiruan atas dunia alamiah dan dunia manusia. Nietzche, Freud lebih menyukai definisi seni sebagai pemuasan atas hasrat jiwa. Nietzche mendasarkan definisi seni di dalam dua kecenderungan jiwa yaitu Apollonian ( dewa mimpi ) dan Dionysian ( dewa mabuk anggur ) yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa seni adalah luapan hasrat jiwa manusia sebagai sebuah tiruan. Jadi seniman menukik ke kedalaman kemabukan Dionysian dan peniadaan diri dan terpisah dari kebanyakan orang yang menikmati seni dan kemudian melalui inspirasi impian Apollonian, keadaannya sendiri yaitu kesatuannya dengan dasar alam semesta ini, diwahyukan kepadanya dalam suatu gambaran impian simbolis. Sebagai seorang awam, saya melihat ekspresi kemabukan Dionysian para desainer juga muncul di permukaan bumi ini, salah satunya adalah Jean Paul Gaultier. Estetika Gaultier bukan sebuah tata harmoni dalam size, harmonisasi maupun keseimbangan yang normal melainkan tetapi justru penindasan keseimbangan harmonisasi. Kenapa demikian ? Christopher Caudwell, seorang pengagum Marxis mengatakan bahwa “ dream “ adalah asosiasi bebas, personal maka goalnya adalah hanyut ke dalam imajinasi sampai kesadaran akan ke-aku-an kita lenyap, seperti kita sedang bermimpi ( physiological introversion ). Kedua, Caudwell mengatakan bahwa seni adalah hubungan dialektis antara pengalaman personal dan dunia sosial yang membangkitkan self socialization. Ketiga, semua seni bersifat subyektif, emosional dan berkaitan dengan insting-insting ( alias liar ).


Jika kita kembali kepada Reformed Theology, seni adalah bagian dari kebudayaan ( culture ) yang merupakan reaksi manusia terhadap wahyu umum ( God’s creation ). Celakanya, kejatuhan manusia ke dalam dosa merusak setiap reaksi-reaksi sakral manusia terhadap wahyu umum Allah sehingga manusia banyak menghasilkan seni yang bidat – menyenangkan imajinasi dan idenya tuk menciptakan “ new revelation “ dalam dunianya ( kayak orang autism ) daripada kembali kepada “ God’s revelation “ yang memaparkan prinsip-prinsip manusia berespon kepada Tuhan diatas wahyu umum yang mereka nikmati ( rela dikakukan dalam prinsip Firman Allah. Manusia mengandalkan kekreatifan reason maupun emosional guna menciptakan “ new freedom “ dalam semua bidang termasuk seni. Oleh karena itu “ secularism “ menjadi popular daripada “ all things is sacred “. Mengapa popular ? karena manusia tidak netral. Manusia telah jatuh ke dalam dosa dan menikmati ketidak netralnya sebuah hasil kreasi entah milik penguasa, seniman atau siapa saja karena minimal manusia memiliki kepentingannya sendiri, entah ekonomis ataupun politis. All things sacred mengajak setiap kita untuk kembali menghargai kesakralan Tuhan di dalam setiap bidang yang kita geluti termasuk seni. Secara humanis, YSL menghasilkan kreasi design pakaian perempuan yang spektakuler dengan keanggunan yang ditawarkan tetapi itu bukanlah keindahan itu sendiri melainkan reaksi manusia bersosialisasi terhadap wanita dan bentuk tubuh sebagai ciptaan Tuhan sehingga menghasilan sebuah design pakaian wanita. Sayangnya, dirinya gagal di dalam menilai identitas manusia sebenarnya sebagai imago Dei. Begitu juga design Gaultier yang liar serta kacau di dalam kebebasan kreasinya. Saya percaya Gaultier belum mengamenkan identitas dirinya yang sebenarnya di hadapan Tuhan. Maka reaksi bisa “ standard humanis “ juga bisa “ liar “ akan tetapi di hadapan Tuhan, semuanya gagal karena tujuan hidup manusia tidak tercapai disana yaitu memuliakan Tuhan dan menikmati Dia. Pertanyaannya, masih adakah desainer-desainer hari ini yang mati-matian bekerja buat Tuhan, melalui setiap kreasinya merupakan reaksi yang jujur atas wahyu umum Tuhan melalui interpretasi yang akurat di dalam wahyu khusus Tuhan yaitu di dalam Kristus, Firman Kudus-Nya ?

Dalam Kasih-Nya
Daniel Santoso
Taipei, Taiwan, ROC

No comments:

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...