Friday, December 10, 2010

Reason for the season 1

Desember 2010 telah tiba, dekorasi natal telah menghiasi kota-kota besar di seluruh penjuru dunia. Banyak Mall udah mempersiapkan sale besar-besaran bagi pengunjung konsumerisme yang “gila shopping” terhadap barang-barang bermerk. H&M penuh sesak oleh pengunjung muda-mudi dalam memburu koleksi Lanvin dan H&M dalam rangka Natal. Belum lagi, pohon natal besar berwarna warni dengan nyala kelap kelip lampu natal memberikan nuansa “celebration” di Central, Hongkong. Tidak sedikit, penduduk Hongkong dan sebagian foreigner memenuhi area Central untuk menikmati “happy holidays” mereka. Sebenarnya, bagaimana kita seharusnya merayakan Natal? Sebagai orang kristen, kita seharusnya memakai waktu kita untuk stop dan reflect just why we really celebrate this season?

Dewasa ini, kebangkitan gerakan ateisme cukup berani menyuarakan “freedom of speech” mereka baik secara lisan, tertulis maupun secara organisasi. Buku “The God of Delusion” dari Richard Dawkins dan “God is not great: How religion poisons everything” dari Christopher Hitchens menjadi aksi serangan kaum ateis kepada orang-orang teistik. Dawkins menyerang Katolik Roma sebagai “the greatest force for evil in the world” . Dawkins anggap Katolik Roma sebagai “disgusting institution” dan “cannibal feast”. Dawkins menganggap agama sebagai mitologi yang kelihatan indah tapi salah dan berbahaya. Hitchens juga mengajak setiap pembaca bukunya untuk melihat kepada fakta/evidence bahwa keberadaan agama menyebabkan dunia tidak semakin baik, malah semakin complicated and so confusing. Tidak heran, Dawkins dan Hitchens menilai Allah dan keberadaan agama sebagai hal yang “non-sense” karena tidak sesuai dengan fakta/ evidence dalam sejarah. Mereka menganggap “From Faith to Faith” tidak relevan. Lebih baik “From Evidence to Faith”. Sungguhkah? Alkitab justru memberikan sebuah proklamasi bahwa “God loved therefore i am”. Jadi, kepercayaan soal Allah dan agama tidak dapat hanya dinilai dari “reason” manusia yang bersumber pada “cogito ergo sum” ala Rene Descartes, tetapi harus setia kepada “God centered” sehingga definisi iman dimengerti di dalam kembalinya reason, emotion, will kepada Kebenaran Allah yang absolut.

Sebagai orang kristen, kita harus kembali berbalik kepada fokus yang asli yaitu kembali kepada Yesus Kristus. No Jesus, No Christmas! Inilah our duty untuk menyatakan sebuah proklamasi Injil Kristus di dalam kepenuhan dan kelimpahan anugerah-Nya, bukan melakukan “editing” terhadap Injil Kristus. Ironisnya, Kontradiksi demi kontradiksi silih berganti menodai keakuratan Natal dalam aksi manusia memperingatinya.

Contoh, ketika bayi Yesus berada di Bethlehem, orang majus datang dari tempat jauh untuk bertemu dengan bayi Yesus dan mereka memberikan persembahan mas, kemenyan dan mur sebagai persembahan terbaik mereka. Bukankah Natal membuat saudara dan saya belajar memberikan yang terbaik kepada Tuhan? Natal seringkali membuat setiap kita hanya terjebak dalam ornamen-ornamen plastik pohon natal yang “menarik” secara fenomenal tapi kehilangan makna dari Natal tersebut. Jadi, Seharusnya saudara sibuk merayakan Natal untuk memberikan yang terbaik buat Tuhan, ataukah karena saya hanya mau terlibat dalam “keramaian” Natal?

Sekali lagi, kita harus “straight-forward” untuk membawa fokus utama Natal ada dalam Yesus Kristus. Bagaimana kita belajar memahami pentingnya Yesus Kristus dalam kita merayakan Natal? Saya mengajak saudara merenungkan satu perikop yaitu Surat Filipi 2:5-11. Paulus mengajarkan setiap kita untuk menjadikan:

Pertama, Yesus Kristus menjadi standar pikiran dan perasaan kita. (ayat 5). “Having this mind among yourselves, which you have in Christ Jesus”. Dalam tradisi Yahudi, kita dapat belajar bahwa pikiran dan perasaan tidak dapat lepas dari hati. Semuanya connecting dan tidak dapat dilepaskan. Jadi, dalam hal ini, hati kita seharusnya terpaut dalam Yesus Kristus sebagai satu-satunya fondasi iman yang dianugerahkan Allah kepada kita (Yohanes 8:24, Yohanes 14:6). Dalam hal ini, kita harus menjadi saksi Kristus yang berani mendasarkan setiap aksi hidup kita dalam pengertian Kristus yang benar yaitu Yesus 100% Allah dan Yesus 100% Manusia, inilah kualitas Allah yang “qualitative difference” nan “radical” yang kembali bersumber pada anti-tesis antara kaum percaya dan kaum non-percaya. Presuposisi kita adalah kembali dalam Kovenan Allah yang absolut, bukan “new thesis” dari tesis dan anti tesis versi Hegelian.

Bersambung

Dalam Kasih-Nya
Ev. Daniel Santoso
Shanghai, China

No comments:

Peran Gereja dalam Dunia  Yoh 8:21-29, 30-32 Bagaimanakah seharusnya gereja berperan di dalam dunia ini? Khususnya Hamba Tuhan, jemaat, dan ...